Sabtu, 22 November 2008

TRAGEDY COMPROMISE (Bagian 5)

Menyenangkan Semua Pihak

Injili Baru yang "Baru"
Injili Baru menjadi "semakin baru" melalui berjalannya waktu. Tidak semua orang menyadari kenyataan atau signifikansi ini. Beberapa kalangan yang mengaku sekolah fundamentalis menenangkan kegelisahan para anggotanya, bahwa mereka menentang Injili Baru. Namun Injili Baru yang mereka singgung itu adalah gerakan tigapuluh tahun yang lalu atau lebih - yaitu nama yang didukung oleh Carl Henry, Harold Ockenga, dan Edward Carnell. Injili Baru telah melalui perjalanan panjang sejak dicetuskan. Banyak kalangan, sementara menolak Injili Baru yang lama, namun menganut Injili Baru yang "baru" tanpa mengetahui dengan jelas hubungan antara keduanya.

Di bawah Payung yang Lebar
Paulus memperingatkan orang-orang percaya untuk tidak "diombang-ambingkan oleh rupa-rupa angin pengajaran, oleh permainan palsu manusia dalam kelicikan mereka yang menyesatkan" (Ef. 4: 14). Pernyataan ini jelas berbicara mengenai penyimpangan konstan yang terbukti di dalam perkembangan theologi manusia. Ia juga memperingatkan bahwa para theolog dan pengajar-pengajar agama sangat rentan terbujuk ketika mereka menjajakan karya-karya tidak alkitabiah mereka. Untuk membedakan theologi dan metodologi yang baik dengan yang buruk, dibutuhkan ketajaman rohani yang tepat, suatu kualitas yang kelihatannya sudah sangat sulit ditemukan pada masa kini. Sementara kita diperintahkan untuk membedakan "Roh kebenaran" dan "roh yang menyesatkan" (I Yoh. 4: 6), namun itu bukanlah pekerjaan yang populer.

Perubahan Keadaan
Untuk menggambarkan angin perubahan yang bertiup melalui kelompok-kelompok religius masa kini, Hunter menyimpulkan secara tepat bahwa "kualitas yang berubah-ubah merasuki kalangan Injili".[1] Clark Pinnock menyebut dengan istilah yang lebih keras ketika ia menulis, "Kaum Injili merasakan ragi perubahan theologis yang memusingkan yang mereka pikir hanya terjadi pada kaum liberal".[2] Tentu saja ada beberapa yang menganggap hal ini sebagai tanda yang baik. "Jauhi theologi tradisional yang muluk-muluk, kaku dan tidak responsif. Mari kita membuka jendela, biarkan angin segar bertiup, dan mari kita lebih inovatif dalam pendekatan theologis kita". Ini merupakan seruan kebanyakan kaum injili masa kini.

Dalam kenyataannya kebanyakan yang disebut orang injili itu terus bergerak ke kiri menuju theologi liberal total. Beberapa di antaranya sudah berpijak disitu. Ketika membuat pernyataan demikian, seorang fundamentalis kerapkali dituding "memfitnah" atau "ekstrim" Namun, Pinnock, yang merupakan seorang non-fundamentalis dan penulis cerdas yang dihormati oleh kalangan Injili Baru mengatakan sesuatu yang jauh lebih bagus dibandingkan dengan yang bisa dikatakan oleh seorang fundamentalis: "Konservatif militan di antara kita tidak berpikir secara seksama ketika menuding beberapa di antara kita dengan tuduhan terlalu menyerah dengan tanggungjawab kita terhadap tantangan kritikisme Alkitab, evolusi, feminisme, theologi politis, dan sejenisnya. Ada tanda-tanda bahwa beberapa injili sedang mengarah ke liberal religius, bukan karena mereka melakukan dengan sekali langkah besar, tetapi karena untuk mewujudkan gagasan mereka, mereka secara tidak sengaja menempuh berbagai jarak dengan perubahan yang lebih kecil".[3]

Ini merupakan pernyataan berwawasan dan pemikiran mendalam yang berharga. Pernyataan itu dibuat oleh orang yang seharusnya tahu, karena ia telah memulai perjalanan tersebut selama bertahun-tahun. Adalah sebuah kebenaran - bahwa kesesatan merangkak pelan, bukan berlari masuk ke dalam gereja. Manusia tidak memulai dengan maksud untuk menjadi liberal. Mereka tiba pada titik tersebut melalui perjalanan kompromi yang panjang. Penyesatan datangnya sembunyi-sembunyi. Yudas memperingatkan bahwa "ada orang-orang tertentu yang telah masuk menyelusup di tengah-tengah kamu" (Yudas 4), dan Petrus berbicara tentang para pengajar yang "[secara rahasia] memasukkan pengajaran-pengajaran sesat yang membinasakan" (II Ptr. 2: 1).

Masalah itu mengingatkan tentang gambaran yang diberikan beberapa tahun yang lalu mengenai theologi Karl Barth, yaitu "theology on the wing" ("theologi yang sedang melayang"), karena anda tidak akan tahu kemana ia akan mendarat nanti. Setelah memberikan sederetan nama pribadi, institusi, dan organisasi Injili Baru yang agak luas, Bloesch menyimpulkan, "Apa yang penting disadari adalah bahwa setiap pribadi dan persekutuan yang disebut dalam masalah ini... sedang berubah. Sementara ada yang merupakan neo-evangelical (injili baru) atau neo-fundamentalist (fundamentalis baru) pada periode ini, dalam beberapa tahun kemudian mereka mungkin lebih tepat dikelompokkan dalam kategori yang lain".[4] Pengamat lain mengisyaratkan, "Juga cukup beralasan untuk meramalkan bahwa pandangan kalangan Injili masih akan mengalami mutasi lebih lanjut yang akan membuat mereka bahkan semakin merosot dari iman historis yang telah ada saat ini".[5]

Kedua penulis tersebut mengatakan bahwa injili sedang berubah. Namun apakah ia berubah menjadi lebih baik? Ada yang mengatakan ya. Namun seorang pengamat hebat tentang masalah injili yang memiliki kontak dan pelayanan di pelbagai latar belakang mengatakan tidak. Berikut ini adalah komentar Francis Schaeffer di dalam bukunya, The Great Evangelical Disaster ("Bencana Besar Injili"):

Dalam kalangan injili terjadi perubahan yang sangat cepat searah dengan apa yang terjadi pada denominasi-denominasi limapuluh tahun yang lalu.

... Terjadi pertumbuhan infiltrasi gagasan humanistik ke dalam theologi dan praktek. Penerimaan terhadap pluralisme dan berkembangnya sikap akomodatif. Dan apakah tanggapan dari kepemimpinan injili? Sebagian besar diam, membiarkan hal itu semakin hari semakin meluncur, menyembunyikan perbedaan. Sekali lagi kita melihat bencana besar injili - yaitu kegagalan kepemimpinan injili untuk mengambil sikap secara meyakinkan dalam hampir segala sesuatu untuk menentang sisi relativistik budaya kita.[6]

Beberapa fundamentalis, terutama yang muda, yang kelihatan agak tergiur dengan gereja-gereja Injili Baru tertentu yang menjamur, ingin juga gereja mereka berkembang serupa, dan mulai bertanya-tanya apakah mereka harus "masuk ke dalam arus" dan mulai bergerak mengikuti pasang-surut. Godaan demikian harus dijawab dengan "melihat ke dalam Alkitab". Theologi yang alkitabiah, benar dan solid bukan bercirikan gerakan, namun dengan stabilitasnya. "Untuk selama-lamanya, ya Tuhan, firmanMu tetap teguh di sorga" (Mzm. 119: 89). Kita harus "bertekun dalam iman, tetap teguh dan tidak bergoncang, dan jangan mau digeser dari pengharapan Injil" (Kol. 1: 23). Paulus menasehatkan kita untuk "berpegang pada segala sesuatu yang telah kita dengar darinya sebagai contoh ajaran yang sehat" (II Tim. 1: 13). Kita harus "berjuang untuk mempertahankan iman" (Yudas 3), yang mengindikasikan bahwa kita harus mempertahankan iman Kristen yang historis dan tidak berubah dan tidak boleh membiarkan para tukang obat menyimpangkan kita.

Para gembala muda dan orang-orang percaya perlu menyadari bahwa perubahan tidak selalu berarti kemajuan. "Iman bapak-bapak kita" yang merupakan wahyu illahi tidak bisa diubah. Penekanan Perjanjian Baru adalah pada pemeliharaan iman, bukan pada mengembangkan kembali iman itu. Kita tidak menemukan nasehat di dalam Kitab Suci untuk "mengkontekstualisasi iman". "Iman" merupakan tubuh doktrin yang disingkapkan Allah kepada kita dan dituliskan di dalam Alkitab. Ia tidak memerlukan perubahan atau perbaikan. Ia kekal dan dapat dipercaya.

Binatangnya Sama - Namanya yang Baru
Sebagian kekacauan saat ini yang berhubungan dengan Injili Baru berasal dari fakta bahwa kini terdapat sedikit sekali perbedaan antara injili dan Injili Baru. Prinsip-prinsip asli Injili Baru telah diterima secara sangat universal oleh orang-orang yang menyebut diri sebagai injili, sehingga perbedaan apapun yang dibuat beberapa tahun yang lalu semuanya telah hilang. Tidak perlu ragu untuk mengatakan bahwa "Nama gerakan baru Ockenga yaitu 'New atau Neo-Evangelical' ('Injili Baru') disingkat menjadi 'Evangelical' ('Injili')... Jadi jelas jika saat ini kita bicara mengenai cabang Kekristenan konservatif ini, sebenarnya kita bicara mengenai gerakan Injili".[7] Seperti yang sudah kita lihat sebelumnya, para injili muda yang duniawi mengambil pendirian yang bahkan memalukan para pendiri Injili Baru itu sendiri. "Gerakan tersebut sungguh di luar kendali mereka dan berkembang sebagai akibat dari kekuatan yang tidak pernah diantisipasi dalam rencana mereka".[8]

Saat ini sedikit sekali orang yang menyebut dirinya dengan istilah Injili Baru. Namun ini tidak berarti bahwa mereka bukan Injili Baru. Hal ini hanya menunjukkan bahwa tata-nama itu telah disusutkan. Barangkali hal ini jauh lebih berbahaya, karena ia tidak menggunakan suatu nama khusus, namun ia benar-benar berlayar di bawah naungan kata yang disegani sepanjang masa - evangelical (injili).

Celah yang Terkuak
Anak muda kerapkali membawa gagasan yang melebihi para pendahulu mereka, dan mahasiswa cenderung lebih radikal daripada para pengajarnya. Francis Bacon mengatakan bahwa "anak-anak muda, dalam perilaku dan manajemen tindakan, mengusung lebih dari yang bisa mereka pikul, membuat lebih banyak kekacauan daripada ketenangan, terbang menuju tujuan tanpa mempertimbangkan cara dan tingkatan, dan mengikuti beberapa prinsip tak masuk akal yang pernah mereka spekulasikan".[9]

Jelas inilah yang telah terjadi di dalam Injili Baru. "Sayap kanan" Injili Baru (anggota-anggota yang lebih konservatif, yang lebih tua) kuatir dengan jarak yang telah ditempuh oleh "sayap kiri" (anggota-anggota yang lebih radikal, yang lebih muda).

Keprihatinan "Sayap Kanan"
Carl Henry, salah seorang pendiri asli Injili Baru melakukan pengamatan yang signifikan mengenai Injili Baru yang "baru". Sebagai reaksi terhadap karya Hunter, Evangelicalism: The Coming Generation, Henry mengungkapkan kecemasannya. Buku Hunter berisi penelitian yang dilakukan terhadap kampus-kampus sekolah tinggi injili terkemuka di Amerika, yaitu penelitian yang mengungkapkan penyimpangan yang sangat radikal terhadap norma-norma orthodoksi. Henry mengatakan:

Ketika fokus seseorang bukan pada pinggiran kendali, tetapi pada pusat kendali yang penting, kampus-kampus injili yang diteliti, sebagai sebuah kelompok, benar-benar menunjukkan kemunduran theologis yang memalukan. Lebih-lebih dalam pendidikan tingkat sarjana saya di pelbagai kampus seminari, saya telah menegaskan persetujuan saya atas keakuratan indikasi Hunter, sebagai contoh, bahwa bahkan pada beberapa kampus sekolah tinggi injili yang terbaik, beberapa dosen mengajarkan kepada mahasiswanya bahwa Yesus Kristus bukanlah satu-satunya jalan yang membawa manusia kembali kepada Allah dan semua ras manusia tidak harus mengaku sebagai keturunan Adam.[10]

Carl Henry punya hak untuk prihatin. Kompromi awal dari Injili Baru telah menghasilkan tuaian mengerikan pada generasi kedua dan ketiga.

Harold Lindsell, seperti yang telah disinggung, merupakan sebuah bintang fajar di dalam galaksi Injili Baru. Setelah menjadi dosen di Fuller Seminary dalam suatu masa, ia kemudian menjadi editor majalah Injili Baru yang bergengsi, Christianity Today. Ia adalah "blue chip"Injili Baru. Cobalah simak dengan seksama pengakuan yang mengejutkan di dalam tulisannya:

Dengan penuh penyesalan saya harus menyimpulkan bahwa istilah injili telah menjadi begitu rendah derajatnya, sehingga kehilangan kegunaannya. Beberapa dekade yang lalu ketika label injili baru menciptakan semangatnya yang didasarkan pada satu aspek positif dan satu aspek negatif. Pada sisi positif ia mengambil-alih tanpa mengubah warisan dasar theologis fundamentalisme. Yang saya maksudkan dalam hal ini adalah komitmennya kepada orthodoksi historis seperti yang diwariskan Perjanjian Baru dan Reformasi, dan yang sejak saat itu dinyatakan di dalam pelbagai pernyataan iman Kekristenan... Pada sisi yang negatif, ia melepaskan sosiologi fundamentalis yang tradisional, misalnya pemahaman fundamentalisme terhadap hubungan orang Kristen dengan dunia ... Injili baru berpaling dari sosiologi fundamentalisme menuju interaksi positif dengan duniawi serta berpaling dari pertempuran pada tingkat intelektual menuju pendidikan theologis liberal... Barangkali jauh lebih baik untuk menerima istilah fundamentalis dengan segala kejelekan yang dituduhkan oleh para pencelanya.[11]

Bukan main! Salah seorang arsitek Injili Baru kini berkata bahwa istilah injili dicurigai. Apa yang membuatnya dicurigai? Penyimpangan yang terus-menerus dan kompromi yang terus meningkat terbukti terjadi pada mereka yang mengusung nama tersebut.

Kelompok-kelompok Injili Baru

Donald Bloesch, dalam analisisnya yang tajam mengenai keadaan injili yang ditemukan di dalam bukunya, The Future of Evangelical Christianity, berusaha melukiskan kelompok "sayap-kanan" dan "sayap-kiri" di dalam injili. Ia melihat paling sedikit ada dua masalah penting yang cenderung membedakan mereka: (1) sifat inspirasi Alkitab, dan (2) pendekatan yang tepat dalam menafsir Alkitab[12]. Dalam pembahasan selanjutnya masalah-masalah tersebut akan diuraikan lebih rinci.

Di antara seminari yang ia katakan lebih terbuka dengan angin baru, namun masih terpengaruh oleh fundamentalisme disebutkan:

Trinity Seminary

Denver Theological Seminary

Covenant Theological Seminary

Talbot Theological Seminary

Bahwa lembaga-lembaga yang disebutkan itu masih diberi suatu ukuran "terpengaruh oleh fundamentalisme" jelas masih dipermasalahkan secara terbuka, namun sekolah-sekolah yang baru disebutkan tersebut adalah sekolah-sekolah yang dipandang Bloesch sebagai kelompok "sayap kanan" di dalam spektrum injili, sehingga lebih konservatif dibandingkan yang lainnya. Nama-nama yang digolongkan "sayap kiri" adalah:

Fuller Theological Seminary

Gordon-Conwell Seminary

Bethel Theological Seminary

Regent College

Eastern Mennonite Seminary

Eastern Baptist Theological Seminary

North Park Theological Seminary


Bloesch juga memberikan klasifikasi badan penerbit Kristen. Yang termasuk "sayap-kiri" adalah sebagai berikut:

William B. Eerdmans Publishing Company

Inter-Varsity Press

Fleming Revell

Word Books


"Sayap kanan" diwakili oleh:

Zondervan Publishing House

Thomas Nelson

Baker Book House

Tyndale House Publishers


Dari terbitan berkala (majalah) Kristen yang dikelompokkannya, ia menganggap yang termasuk "sayap kiri" adalah:

Christian Scholar's Review

United Evangelical Action

The Evangelical Quarterly

Evangelical Newsletter


Sedangkan yang berhaluan kanan disebutkan:

Journal of the Evangelical Theological Society

The Westminster Theological Journal

Trinity Journal

Dalam pengamatannya mengenai pemimpin Injili Baru, ia menempatkan tokoh-tokoh berikut sebagai berhaluan kanan: Francis Schaeffer, R. C. Sproul, James Boice, James Parker, Harold O. J. Brown, John Gerstner, John Warwick Montgomery, dan Harold Lindsell. Dalam kelompok ini, ia juga menyebut Carl Henry, Roger Nicole, John Stott, Vernon Grounds, dan Kenneth Kantzer. Bagi Bloesch, masalah yang memisahkan klasifikasi ini adalah mengenai inerrancy (ketiadasalahan Alkitab). Nama-nama yang disebut di atas mempertahankan inerrancy, sebaliknya kelompok sayap kiri lebih suka menggunakan istilah infalibilitas (kesempurnaan), yang percaya bahwa Kitab Suci adalah benar dalam pengajaran doktrin, tetapi tidak dalam bidang pemikiran yang lain. Dalam kelompok berhaluan kiri ini didapatkan nama-nama seperti Clark Pinnock, F. F. Bruce, Bernard Ramm, Bruce Metzger, George Eldon Ladd, Jack Rogers, James Daane, Paul Jewett, Lewis Smedes dan lain-lain.

Dua Titik Masalah

Seperti yang telah disebutkan di bagian depan, dua masalah penting yang memisahkan kedua sayap Injili Baru adalah: (1) penginspirasian dan (2) penafsiran (interpretasi). Bloesch sendiri yang telah mengadakan penelitian atas kedua "sayap" gerakan tersebut, jelas berada dalam posisi yang lebih lemah dalam pembahasan ini. Baginya Alkitab adalah "sebuah saluran yang dipilih Allah, sebuah cermin, atau sebuah tanda wahyu illahi yang dapat dilihat".[13] Agar luput dari Warfield-Hodge, yaitu penekanan Princeton Seminary lama yang sangat memuakkan bagi banyak Injili Baru yang "baru," Bloesch memegang posisi berbahaya yang dekat dengan neo-orthodoksi. Tidak mengherankan jika ia memuji para theolog neo-orthodoks yang berusaha "untuk memulihkan wahyu illahi yang bersifat dinamis".[14] Posisi Bloesch, yang dapat digolongkan sebagai sayap kiri Injili Baru adalah sebagai berikut:

Fundamentalisme terlalu menekankan firman di dalam Kitab Suci, sehingga mengabaikan makna, kebenaran dan kuasa (kekuatan).

Sifat obyektif dari kebenaran dikompromikan dengan menyatakan bahwa kebenaran merupakan penyesuaian dengan kehendak dan tujuan Allah, dan tidak perlu harus dihubungkan dengan pernyataan yang proposisional (bersifat dalil).

Apa yang sekarang kita sebut sebagai kesalahan tidak dipandang sebagai kesalahan oleh para penulis Alkitab maupun orang yang hidup pada zaman dahulu dan dari budaya yang berbeda. Kita tidak boleh menerapkan pandangan dengan lebih keras tentang kesalahan kepada Alkitab.[15]

Pada tahun 1965 ketika masih menjadi dosen theologi Bethel Theological Seminary di St. Paul, Minnesota, Clarence Bass memberikan sebuah pelatihan pada acara Founder's Week (16 Februari 1965). Pembahasannya adalah "Hubungan Antara Inspirasi dan Inerrancy". Dalam kuliah tersebut, Bass menyatakan bahwa pandangan inerrancy yang dipertahankan oleh kaum fundamentalis modern baru muncul baru-baru ini dan tidak dianut oleh para cendekiawan orthodoks pada masa sebelumnya. James Hollowood, yang kemudian menjabat sebagai Sekretaris Eksekutif Minnesota Baptist Convention, meminta klarifikasi Bass atas pandangannya tersebut. Dalam surat balasannya kepada Hollowood pada tanggal 16 September 1966, Bass mengatakan, "Maksud saya adalah ingin membedakan dengan jelas antara inspirasi sebagai sebuah doktrin Alkitab dan inerrancy sebagai sebuah korelasi logis".[16] Dengan kata lain, Alkitab boleh saja diinspirasikan, tetapi belum tentu tidak ada salah (inerrant).

Pada masa ketika Fuller Seminary mengubah pernyataan doktrinalnya, telah menjadi model dari banyak kalangan Injili Baru untuk membedakan inerrancy (yang tidak mereka yakini) dan infalibilitas (yang dinyatakan sebagai keyakinan mereka). Perbedaan tersebut masih dipertahankan oleh beberapa kalangan. Apa yang mereka maksudkan adalah bahwa Alkitab memang mengandung kesalahan dalam hal-hal yang tidak krusial seperti geografi, sejarah, dan numerologi, namun masih dapat dipercaya (infallible) jika menyinggung doktrin-doktrin penting dan kritikal yang diajarkan di dalamnya. Seorang penulis menyimpulkannya sebagai berikut:

Dengan masuknya serangan ilmu pengetahuan modern dan kritikisme Alkitab ke dalam lingkungan theologis injili Amerika... posisi teguh inerrancy menjadi semakin sulit dipertahankan. Dengan demikian doktrin "limited inerrancy" ("ketiadasalahan terbatas") mulai disebarluaskan sepanjang tahun 1960-an, dan akhirnya pada tahun 1972, dimasukkan ke dalam pernyataan iman yang dianut oleh Fuller Theological Seminary, sekolah tinggi theologi injili yang paling prestisius.

Posisi ini - yang menegaskan bahwa Alkitab tidak ada kesalahan (inerrant) atau sempurna (infallible) dalam pengajaran mengenai masalah iman dan perilaku, tetapi belum tentu dalam semua penegasannya mengenai sejarah dan alam semesta - secara bertahap menguasai kalangan theolog injili yang paling terkemuka. Mereka merasa sangat yakin bahwa doktrin limited inerrancy sama-sama memelihara otoritas Alkitab dan memungkinkan digunakannya metode higher-criticism dalam mempelajari isinya.[17]

Sungguh menyedihkan jika para theolog yang mengaku injili menenggelamkan pandangan inspirasi yang diajarkan oleh Alkitab sendiri agar mereka dapat menggunakan metode studi Alkitab yang berkembang di dalam pikiran orang-orang tidak percaya yang busuk yang membenci Firman Tuhan dan pengajarannya! Metode higher criticism yang didambakan oleh kaum Injili Baru itu tidak lebih dari sekedar suatu pendekatan terhadap Alkitab yang humanistik dan rasionalistik.

Clark Pinnock adalah wakil dari kalangan "inerrancy terbatas" ketika ia mengatakan bahwa Alkitab "mengandung kesalahan, namun pengajarannya tidak".[18] Ia ingin mengatakan bahwa tidak semua presentasi Alkitab adalah "pengajaran", atau instruksi doktrinal. David Hubbard, pemimpin Fuller Seminary, mengusulkan bahwa kita harus membuang istilah "inerrancy" dan hanya menggunakan istilah "infalibilitas".

[19] Dengan cara berbeda ia mendukung hal yang sama seperti Pinnock.

Kebanyakan kalangan Injili Baru adalah kharismatik atau terpengaruh oleh gerakan kharismatik. Kaum kharismatik menekankan pengalaman spiritual khusus yang mereka klaim sebagai sesuatu yang sangat penting bagi kehidupan orang Kristen. Banyak di antara mereka percaya bahwa masa kini Allah masih memberikan wahyu di luar Alkitab (extra biblical) dan menganggap karunia bernubuat sebagai komunikasi kebenaran illahi yang terpisah dari Kitab Suci. Jika benar demikian, maka tak pelak lagi Kitab Suci bukanlah wahyu final kita. Pandangan demikian sungguh sangat berbahaya dan, kita yakin, bertentangan dengan Kitab Suci maupun posisi orthodoks Kekristenan yang historis. Masalah mujizat juga berhubungan dengan perdebatan tentang apakah Kitab Suci itu sudah cukup. Jika mujizat masih dibutuhkan, dan memang masih dilaksanakan pada masa kini, maka Alkitab belum memadai; wahyu tambahan masih dibutuhkan, wahyu diberikan dalam bentuk mujizat. Banyak orang Kristen menyatakan mengalami mujizat masa kini, dan dalam banyak kasus, pengalaman-pengalaman tersebut memberikan preseden lebih berotoritatif daripada Alkitab. "Alkitab mutlak harus dibiarkan untuk menilai setiap pengalaman. Jika ada pengajaran yang kurang jelas dan prakteknya tidak didukung Alkitab, maka gereja masa kini tidak boleh menerimanya, tanpa perlu menghiraukan betapapun indahnya dan menakjubkannya hasil yang diperoleh dari pengalaman itu".[20]

Masa anugerah ini bukanlah masa mujizat. Tak satupun orang Kristen yang percaya kepada Alkitab yang meragukan kemampuan Allah untuk melakukan mujizat; namun, masa kini bukanlah bagian dari rancanganNya untuk melakukan mujizat itu. Allah meneguhkan kesaksian para rasul oleh "tanda-tanda dan mujizat-mujizat dan oleh berbagai-bagai pernyataan kekuasaan" (Ibr. 2: 4), tetapi ketika masa kerasulan berakhir, maka tanda-tanda yang menyertainya juga berakhir.

Sebenarnya Apa yang Dikatakan Alkitab?
Otoritas Alkitab telah digangsir oleh metode-metode penafsiran palsu. Schaeffer sangat tepat ketika menulis, "Alkitab dipaksa untuk hanya menyuarakan budaya sekitarnya dalam sejarah kita. Alkitab tunduk kepada budaya, bukan Alkitab yang menghakimi masyarakat dan budaya kita".[21] Para cendekiawan yang mengaku injili masa kini dapat membuat Alkitab mengatakan hampir segala sesuatu yang mereka inginkan hanya dengan mengadopsi metode penafsiran yang salah.

Hunter membahas tiga alasan yang diyakininya mengenai mengapa kaum konservatif masa kini tidak mampu lagi mempertahankan batasan orthodoksi yang tradisional. Alasan kedua yang diberikannya berkaitan dengan penafsiran Alkitab.

Alasan kedua hanya merupakan kesimpulan, namun logika dan bukti meyakinkan hal itu. Yaitu bahwa meningkatnya sejumlah Injili yang tidak sungguh-sungguh percaya dengan kekudusan batasan-batasan simbolis tersebut... Sekali keyakinan mereka terhadap fakta-fakta utama (yang dipegang oleh tradisi dan diajarkan oleh gereja-gereja) yang merupakan fakta-fakta yang paling literal dan dalam pengertian yang absolut melemah, maka keyakinan tradisional mulai hancur. Kasus paling penting dalam masalah ini adalah posisi Kitab Suci. Ketika diperbolehkan, seperti yang terus terjadi di dalam Injili, untuk menafsir Alkitab secara subyektif dan memandang bagian-bagian Kitab Suci secara simbolis atau tidak mengikat, maka Kitab Suci kehilangan otoritasnya untuk ditaati. Boleh saja ia tetap diinspirasikan, tetapi secara substansial ia sudah tidak mempunyai kekuatan.[22]

Dengan kata lain, jika seseorang membaca Efesus 5: 22, "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu", seperti yang banyak dilakukan oleh para pengajar Alkitab injili, ia akan jelas berkata, "Itu bukan perintah dari Allah; ia hanya merupakan cerminan sikap kerabian dan sikap pria Paulus yang bias (berat-sebelah). Kita boleh mengabaikannya". Penafsiran (interpretasi) menjadi cara yang enak untuk membuang ayat-ayat Kitab Suci yang tidak disukai dan tidak diinginkan. Inilah yang dirujuk oleh Clark ketika ia mengeluh tentang kaum injili yang seenaknya dengan Kitab Suci. "Menurut saya, yang lebih serius adalah penggunaan eksegesis secara tidak langsung untuk meruntuhkan otoritas Alkitab, terutama dalam mendukung gaya hidup orang Kristen tertentu".[23] Kami yakin apa yang dirujuknya disini adalah upaya tahun-tahun terakhir dari mereka yang disebut para cendekiawan injili untuk menjustifikasi gaya-hidup seperti misalnya homoseksual sebagai "Kristen".

"Pergeseran Besar Injili" ("EvangelicalMegashift")

Perubahan besar sedang terjadi di dalam injili secara keseluruhan. Robert Brow melihatnya dan berhasil memberikan beberapa ciri utama atas apa yang disebutnya injili "model baru". Dalam meneliti gagasannya harus diingat bahwa tidak semua orang injili setuju dengan semua yang diuraikannya. Namun, pengamatannya jelas menguraikan petunjuk yang mengesankan banyak kalangan. Berikut adalah karakteristik yang ia pandang menonjol di dalam Injili Baru.

1. Allah dipandang sebagai Bapa yang penuh kehangatan, bukan seorang Hakim yang keras. Hal ini membuat banyak kalangan menolak doktrin historis mengenai siksaan kekal di neraka.

2. Iman lebih merupakan sebuah pencaharian terus-menerus terhadap petunjuk yang benar daripada sebuah keputusan yang dilakukan suatu saat.[24]

3. Murka Allah harus diingat, bukan sebagai hukuman kemarahan, tetapi sebagai konsekwensi buruk yang disebabkan oleh perilaku yang menyedihkan. "Jadi murka lebih merupakan suatu dorongan kasih atau teguran untuk membantu kita di dalam (atau menjaga kita di dalam) pelukan. Injili model-baru menjauhi penggunaan kengerian neraka yang menakutkan manusia untuk mengambil suatu keputusan".[25]

4. Dosa tidak akan menyebabkan kita dihukum di neraka. Ia hanya menimbulkan perhatian kebapakan Allah dengan maksud untuk mendisiplinkan dan koreksi.

5. Jemaat (gereja) bukan sebuah "benteng bagi orang-orang yang telah diselamatkan atau sebuah agen untuk menyelamatkan jiwa", namun merupakan sebuah institusi "untuk menawarkan sumber-daya Roh kepada semua orang yang mau belajar untuk mengasihi dan memiliki Allah dan saudara-saudaranya".[26]

6. Misi bukan suatu upaya untuk menyelamatkan orang-orang fasik yang terhilang dari (hukuman) neraka. Ia lebih merupakan "pendaftaran melalui baptisan bagi setiap orang yang ingin belajar dan melatih mereka, membentuk mereka menjadi keluarga-keluarga jemaat dimana Roh akan mengajarkan mereka segala sesuatu yang telah Yesus ajarkan".[27]

7. Kristus menyelamatkan dengan hidupNya yang kekal dan sama sekali bukan melalui salib.

Pada butir ketujuh ini, perhatikanlah pernyataan berikut:
Injili model-baru... menganggap Anak Allah baik sebagai Tuhan dan Hamba, maupun Gembala dan Domba. Jelas pada saat disalib Ia bukan sebagai Domba. Identitasnya sebagai Domba adalah kekal dalam arti bahwa ia telah menanggung dosa-dosa kita dan segala konsekwensinya sejak ciptaan pertama dijadikan menurut gambar Allah. Ini berarti salib bukan merupakan harga penghakiman, namun merupakan ekspresi yang kelihatan di dalam sebuah tubuh yang dibatasi ruang-waktu atas sifat kekalNya sebagai Anak.[28]

Untuk membuktikan semua kesalahan yang ada di dalam kesimpulan ini diperlukan waktu yang lebih dari yang kita sediakan di dalam buku ini. Tak pelak lagi, seorang mahasiswa theologi tahun pertamapun akan dengan mudah melihat kesalahan uraian tersebut dari sudut alkitabiah. Seperti yang telah kita katakan, tidak semua Injili Baru akan setuju dengan Brow, tetapi fakta bahwa artikelnya bisa diterbitkan di dalam majalah terkemuka Injili Baru, Christianity Today, membuktikan "ada sesuatu yang membusuk di Denmark".

Melihat "Penampilan Baru"
Bagaimana orang mengenal Injili Baru dengan dandanan yang lebih up-to-date?

Semangat "Ramah Tamah"
Franky Schaeffer mengungkapkannya sebagai berikut: "Panggilan akomodasi yang jelas dan nyaring hadir terbungkus dengan nama Injil Ramah-tamah. Dosa sebagai sumber dari segala permasalahan umat manusia disingkirkan dan panggilan untuk pertobatan jarang dilakukan".[29] Injili masa kini dihancurkan oleh relasionalisme, yaitu sikap baik dalam bergaul dengan orang. Bruce Larson, seorang penulis Injili Baru terkenal sendiri memberitahukan bahwa "kualitas dan cakupan relasional dan kemampuan dan kerelaaan untuk bergaul merupakan ciri-ciri orthodoksi, bukan doktrin".[30] Dengan kata lain, penekanan dalam theologi berubah menjadi relasional, bukan konseptual. Meski demikian, kecenderungan ini menyebabkan perubahan pengharapan yang besar dari kebanyakan anggota gereja atas pelayanan gembala. Banyak yang menginginkan agar gembalanya memusatkan khotbah yang berhubungan dengan topik "bagaimana harus melakukan sesuatu", bukan topik tentang doktrin (pengajaran). Hal ini akan dibahas lebih lanjut nanti.

Sikap injili masa kini adalah, "Jangan menyinggung siapapun. Mari memberitakan Injil sedemikian rupa agar menimbulkan kesan yang baik bagi dunia yang belum diselamatkan". "Pertama-tama, kebanyakan Injili diam-diam mengakui bahwa hegemoni Protestan di Amerika telah menyerah kepada serangkaian sistem keyakinan agama, karena mereka sendiri telah diikat oleh kode toleransi agama liberal yang kuat... Sebagai reaksi, Injili mengadopsi sikap sosial yang membela, "Jangan menyakiti hati orang, karena inilah kebenarannya". Yaitu sikap yang sopan, lemah lembut, dan keramah-tamahan".[31]

Semangat lemah-lembut atau "keramahan" ini merembes ke dalam injili. Hal ini mempengaruhi pendekatan yang digunakan oleh kaum injili dalam memberitakan Injil dan sikap mereka terhadap doktrin-doktrin utama Alkitab secara umum. "Proses sopan-santun menyebabkan Injili lebih melonggarkan aspek-aspek ofensif seperti: pikiran jahat yang melekat, perilaku dan gaya-hidup yang penuh dosa, kemurkaan Allah yang maha benar dan maha cemburu, serta kesengsaraan dan kematian kekal di neraka".[32] Gembala yang populer, Chuck Swindoll, mengatakan, "Jika muncul pelayanan kebangunan-anugerah, maka dogmatisme dan teguran Alkitab akan menghilang... Yang ada adalah semangat keterbukaan".[33]

Salah seorang pendiri asli Injili Baru, Carl Henry, tidak terkesan dengan "perkembangan" yang telah dicapai. Ia menjadi gusar oleh beberapa kecenderungan dan menegur mereka.

Berbeda dengan mereka yang termasuk modernisme, para jurubicara injili ragu-ragu untuk menyatakan semua kesalahan agama yang tidak alkitabiah. Mereka lebih suka bicara perihal "kehebatan" orthodoksi injili. Singkatnya, berbeda dengan semangat toleransi yang berkembang dan demi kepentingan sopan-santun dialog, keyakinan Kristen telah dikemas untuk pemasaran yang lebih besar. Masalah hukuman eskhatologis dan neraka sebagai tujuan akhir orang fasik yang tidak mau bertobat disingkirkan, dikurangi, atau diperkenalkan secara setengah-setengah (semi-apologetically). Istilah "bidat" hilang dalam dialog antar-agama.[34]

Apa kata Alkitab? Tuhan kelihatannya tidak terlalu memikirkan diriNya dengan Injil yang ramah ketika Ia menghardik, "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik" (Mat. 23: 14 dst.). Paulus juga tidak bersikap sangat manis ketika ia menuding sesama orang Yahudi mengenai penyaliban Yesus dan menyatakan bahwa "sekarang murka telah menimpa mereka sepenuh-penuhnya" (I Tes. 2: 14-16). Kelihatannya dalam benak sang rasul sama sekali tak terpikir "dialog yang membantu", ketika dengan tegas ia mencela mereka yang mengajarkan injil yang sesat sebagai orang yang "terkutuk" (Gal. 1: 9). Singkatnya, metode penyajian kebenaran alkitabiah seperti yang ditunjukkan oleh para rasul, peletak dasar jemaat, tidak cocok dengan "penampilan baru" injili. Orang Kristen mula-mula tidak secara khusus membuat semua orang untuk merasa nyaman.

Hidung dari Lilin
Hidung dari lilin dapat dibentuk menjadi bentuk apa saja yang dikehendaki. Dengan hidung dari lilin, anda bisa memuaskan keinginan hampir semua orang dengan "roman muka yang dirombak". Hidung demikian dapat diterima oleh hampir setiap bentuk yang diinginkan.

Injili Baru diawali dengan semangat akomodatif. "Janganlah saling menentang, namun mari saling membangun. Biarlah kita mencari berapa banyak pijakan bersama yang dapat kita isi bersama dengan kaum liberal dan neo-orthodoks. Mari kita berusaha menarik lingkungan yang lebih luas dan merangkul sebanyak mungkin kalangan daripada lebih mempersempit lingkungan yang mengesampingkan banyak kalangan". Untuk melakukan hal itu, tentu saja orang harus berkompromi. Kompromi dimulai dengan hal-hal yang kecil, namun sedihnya berkembang menjadi besar dan berkenaan dengan hal-hal yang penting. Sejak awal Injili Baru telah diwarnai dengan kesombongan intelek.

Injili menjadi terhormat. Pada tingkat tertentu, kehormatan ini juga menuntut harga tertentu... Sebagian karena konsekwensi atas sikap akomodatif mereka kepada standar kultural yang berlaku untuk menyesuaikan tempat baru dalam masyarakat yang ditempati oleh banyak kalangan Injili, pada tahun-tahun terakhir orang dapat mengidentifikasikan keterbukaan tertentu mengenai standar gaya-hidup, politik, dan orientasi theologis, bahkan mengenai inerrancy Alkitab.[35]

Kaum Injili Baru mula-mula, khususnya orang-orang sekolahan dan cendekiawan mereka, gelisah dengan anggapan mengenai posisi mereka yang terisolir di dalam masyarakat, terutama di dalam masyarakat religius. Mereka ingin mendapat pengakuan yang lebih, mereka ingin artikel dan buku-buku mereka diterbitkan oleh perusahaan-perusahaan yang "terhormat", dan dipandang sebagai para cendekiawan yang otentik. Bloesch jelas menjadi sasaran ketika ia menulis, "Banyak akomodasi masa kini, seperti juga pada masa lalu, berakar pada perhatian untuk membuat iman cocok atau dibutuhkan oleh orang-orang yang meremehkan budaya".[36] Ini sungguh berbahaya! Mencoba membentuk "iman para pendahulu kita" menjadi sebuah sistem yang bisa dianggap oleh dunia yang rasionalisitis dan tidak mengenal Tuhan sebagai sesuatu yang bisa diterima bukanlah sebuah pendekatan yang alkitabiah.

Ada yang membedakan apa yang mereka sebut dengan "theologi konfesional" dengan "theologi revisionis". Yang dimaksud dengan "konfesional" oleh mereka adalah "orthodoksi yang bersejarah." Sedangkan yang mereka maksud dengan "revisionis" adalah pembaharu, yakni theologi Injili Baru yang berusaha menyesuaikan Firman Allah dengan selera modern. Theologi revisionis "tunduk pada kehidupan dan pikiran gereja yang direvisi atau diperbaharui dipandang dari kesadaran dunia baru... Ini mencerminkan sikap akomodatif terhadap Zeitgeist (semangat zaman)".[37]

Ada apa ini? Jelas ini adalah: bahwa banyak injili modern telah menjadi malu terlihat memikul salib. Mereka terkekang oleh pikiran akan ditolak dan dicemooh oleh dunia yang tidak percaya. Mereka ingin menjadi pusat perhatian. Mereka tidak mau dipandang rendah sebagai "orang fanatik berleher merah" dan "penepuk Alkitab". Karena itulah mereka berusaha "mendandani" iman Kristen. Hunter mengatakan bahwa jika injili modern ingin terus mengajar dan melaksanakan iman seperti yang dahulu dilakukan oleh para pendahulu mereka, maka mereka akan sangat terhambat dalam menjangkau dunia sekitar mereka. Dengarkan pengakuan luar biasa dan memilukan ini:

Singkatnya, untuk memperkuat batasan tradisional simbolis Protestanisme yang orthodoks, kaum Injili dituntut untuk berani menantang hambatan-hambatan kultural dan sosial tersebut. Mereka harus secara terbuka menghimbau dan dengan tegas menerapkan simbol-simbol iman mereka dengan "lebih keras" dan lebih "ofensif". Dalam istilah praktis, ini berarti secara terbuka memberi label pendosa, bidat, atau fasik kepada orang-orang tertentu; meskipun, semua orang menghadapi bahaya penghakiman dan hukuman kekal Allah. Bertindak demikian tentu akan menyebabkan konsekwensi-konsekwensi yang tidak menguntungkan. Mereka akan dipersalahkan dan dikucilkan, bukan saja oleh non-Injili (orang-orang yang ingin mereka menangkan), namun juga pengikut-pengikut mereka.[38]

Dalam pikiran kita yang terliar sekalipun, kita tidak akan bisa memahami rasul Paulus ataupun rasul manapun yang mempertahankan posisi seperti yang digambarkan di atas. Apakah Stefanus, martyr Kristen pertama, mengamati keinginan dari para pendengarnya, mempertimbangkan konsekwensi ucapannya yang negatif, sehingga memutuskan untuk menggunakan pendekatan yang lebih moderat? Ia sama sekali tidak melakukan hal seperti itu. Berhadapan dengan sekelompok pendengar Yahudi yang antagonis, ia mengatakan bahwa mereka adalah "orang-orang yang keras kepala dan yang tidak bersunat hati dan telinga" dan bahwa mereka adalah penentang Roh Kudus (Kis. 7: 51). Akibat perkataan itu, orang banyak tersebut "sangat tertusuk hati mereka, dan mereka menyambutnya dengan gertakan gigi" (Kis. 7: 54). Stefanus pasti akan menjadi orang injili yang buruk jika hidup pada abad 20-an. Jika kita ditanya, bagaimana menjelaskan bahwa pandangan hidup injili pada saat ini kelihatannya seperti memiliki dukungan masyarakat yang lebih besar daripada yang mungkin diperoleh pada masa lalu, maka kita perlu melihat pengamatan ini: "Jawabannya dapat ditemukan di dalam perubahan sikap kultural Injili yang tercatat dalam sejarah. Hal ini mengakibatkan pelunakan dan pemolesan terhadap unsur-unsur alam pikiran Protestan orthodoks yang lebih tajam dan lebih tegas. Walaupun pada inti doktrinalnya alam pikiran ini secara esensial tetap tidak berubah, namun secara kultural ia telah diedit agar memenuhi syarat keramahan dan kesopanan...hal ini disebabkan oleh akomodasi yang dimodifikasi pada modernitas kultural yang plural".[39]

Peringatan-peringatan serupa meskipun berasal dari mereka yang bukan dianggap sebagai "fundamentalis yang melotot", namun bisa tak terhitung banyaknya. Salah seorang penulis non-fundamentalis menyatakan bahwa "kompromi, atau 'akomodatif', merupakan ancaman yang paling berat terhadap injili masa kini".[40] Di tempat lain ia mengatakan, "Kita merasionalisasi sikap dan perbuatan kita dengan menyatakan bahwa zaman baru menuntut pendekatan baru. Dan banyak sekali di antara kita yang siap untuk memeluk dan mengidentifikasikan diri dengan sistem nilai masyarakat masa kini yang bobrok dan merugikan, hanya karena masyarakat kita memberikan sambutan persahabatan dan penerimaan yang hangat. Rasanya enak dipuji" (penekanan cetak miring dari penulis).[41]

Apakah seruan Kristus kepada murid-muridNya? "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku" (Mat. 16: 24). Orang yang memikul salib tidaklah populer. Salib itu dihindari orang. Salib artinya siap mati. Duniawi tidak menghendaki salib. Dan apa lagi yang dikatakan Kristus? "Jikalau dunia membenci kamu, ingatlah bahwa ia telah lebih dahulu membenci Aku daripada kamu. Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu" (Yoh. 15: 18-19). Apakah anda akan menyebut ini sebagai semangat akomodatif?

Feminisme Injili
Dalam tahun-tahun terakhir kita melihat kebangkitan feminisme radikal yang mempunyai pendukung yang sangat vokal dan pandai bicara, baik pria maupun wanitanya. Di bumi ini, pribadi-pribadi kuat dan bicara terang-terangan seperti Mary Daly menyampaikan agenda feminis dengan kekuatan besar. Amandemen Persamaan Hak Azasi diperdebatkan bertahun-tahun, namun belum juga menjadi hukum tanah ini. Meski demikian, kaum feminis yang radikal telah berhasil melakukan banyak kemajuan.

Tentu saja orang bisa melihat dunia yang akan binasa ini turut di dalam rombongan feminis, karena mereka buta kerohaniannya dan tidak memiliki kesetiaan pada otoritas Firman Allah. Namun, orang akan tercengang menyaksikan mereka yang menyatakan diri sebagai injili mengemukakan banyak gagasan sama yang dipegang oleh orang fasik. Perkembangan dari apa yang dinamakan feminisme injili berawal bersama dengan munculnya para injili muda yang duniawi pada masa 1970-an. Pada tahun 1976 Quebedeaux mengamati:

Gerakan wanita itu telah mencapai hasil yang besar di dalam semua sub-group tersebut. Hampir semua injili muda menerima penggunaan bahasa yang inklusif, penahbisan wanita, pernikahan yang sederajat (egalitarian) dan Amandemen Persamaan Hak Azasi... Walaupun semua feminis injili secara alkitabiah berakhir di tempat yang sama, kelompok yang lebih konservatif (kelompok limited inerrancy) berpegang pada prinsip bahwa Alkitab tidak mengajarkan seperti yang diperkirakan bahwa Alkitab mengajarkan tentang peranan wanita yang lebih rendah di dalam gereja dan masyarakat; namun sebaliknya penafsiran Alkitab yang telah dikondisikan secara kultural. Namun kelompok radikal, yang mengikuti Jewett, berargumentasi bahwa jelas Perjanjian Baru membawa pembebasan bagi semua orang dan tidak dimaksudkan untuk menekan wanita modern dengan memaksakan ketentuan struktur keluarga patriarkal abad pertama. Paulus... ketika menuntut posisi wanita yang lebih rendah dari pria ... adalah salah.[42]

Mereka yang menyebut diri feminis injili menyatakan bahwa theologi orthodoks dan historis adalah "buah pikiran" kaum pria yang mencerminkan ketidakadilan mereka. Eloise Fraser, seorang profesor theologi dari Eastern Baptist Seminary ketika menulis, mengeluh mengenai para theolog injili yang menyatakan mereka melaksanakan theologi mereka yang "berasal dari atas", dari sudut wahyu illahi. Namun Fraser mengatakan, bahwa "kebanyakan theologi ditulis berdasarkan pengalaman pria terhadap Allah, dunia dan lainnya".[43] Ia sangat gusar dengan apa yang disebutnya dengan "pengajaran paternalistik di seminar-seminar kita" yang dikatakannya "menghancurkan kreatifitas theologis demi kepentingan paternalistik untuk mempertahankan pengendalian pikiran orang".[44] Kebenaran dari masalah ini adalah, kita telah terlalu banyak "kreatifitas theologis", sehingga membawa manusia keluar dari batas-batas Kitab Suci. Kita harus mengurangi kreatifitas manusiawi dan lebih berserah kepada otoritas Kitab Allah. Feminisme Injili merupakan hasil kreatifitas manusiawi dan bukan hasil eksegesis alkitabiah.

Darimana datangnya sistem baru dan menakjubkan yang dikenal dengan feminisme injili ini? Bagaimana mungkin tak satupun penjelasan dari gereja yang besar dan dihormati selama berabad-abad yang menyingkapkan "kebenaran-kebenaran" baru tersebut? Mengapa feminisme injili baru menjadi fenomena pada abad duapuluh? Apakah karena kini kita mempunyai cendekiawan yang lebih mampu dan lebih kudus dengan pengertian rohani yang lebih besar dibandingkan dengan yang dahulu? Tidak, karena feminisme menjadi populer di dunia dan beberapa kalangan injili kini ingin membuat gereja menjadi "modern", "up-to-date", dan "relevan". Munculnya feminisme injili bertepatan dengan kebangkitan feminisme duniawi. Pengajarannya tidak terdapat di dalam Alkitab, tetapi mengacu kepada masyarakat fasik di sekeliling kita. Kita tahu bahwa pada tahun-tahun terakhir ada usaha dari para pendukung feminisme injili untuk mencari pembenaran pandangan mereka dari Alkitab, namun usaha tersebut belum pernah terjadi sampai ada pihak yang merasa perlu membawa konsep duniawi mengenai peranan wanita ke dalam gereja. Oleh karena itu pembelaan alkitabiah harus dicari agar cocok bagi orang Kristen yang dianggap menerima Alkitab sebagai otoritas final. "Sebenarnya beberapa pemimpin injili telah mengubah pandangan mereka mengenai inerrancy sebagai konsekwensi langsung dari usaha untuk menyesuaikan diri dengan feminisme. Tidak ada perkataan yang lebih cocok selain kata akomodasi. Ini adalah penyimpangan Alkitab secara langsung dan sengaja agar sesuai dengan semangat duniawi zaman kita, dimana semangat modern bertentangan dengan pengajaran Alkitab".[45]

Jika kaum injili tidak dianggap sebagai pejuang otoritas Alkitab, permasalahan belum tentu menjadi lebih buruk. Seorang penulis menunjuk perikop-perikop seperti Efesus 5 dan I Timotius 2 yang, selama berabad-abad, telah dipahami sebagai penafsiran injili yang mengajarkan ketundukan wanita yang saleh, kini terbukti sebagai perikop-perikop yang bermasalah bagi kaum feminis injili. Mengenai perikop-perikop tersebut dan pengajarannya, seorang penulis mencatat, "Pendapat mengenai subordinasi dan inferioritas wanita sulit disembunyikan. Yang membuat perikop-perikop tersebut secara khusus menjadi "sulit" (seperti istilah yang diperlunak oleh seorang feminis Injili) adalah komitmen Injili pada literalisme dan inerrancy Alkitab. Tanpa komitmen itu, 'ayat-ayat bermasalah' tersebut sama sekali tidak bermasalah. Ayat-ayat itu dengan mudah diabaikan atau direlativisir dengan menyatakan bahwa ayat-ayat Alkitab tersebut hanya mencerminkan latar-belakang budaya penulisnya dan bukan kebenaran yang penting".[46] Sebenarnya ini hanyalah cara kebanyakan injili modern menangani masalah itu. Kebenaran utamanya, kata mereka, telah dikacaukan melalui transmisi melalui pikiran para chauvinist (kelompok yang melebih-lebihkan - penerjemah) pria abad pertama (yaitu para rasul), dan kita yang memiliki wawasan yang lebih luas pada abad keduapuluh harus melepaskan kekacauan dan mencari kebenaran-kebenaran yang kekal.

Alkitab sangat jelas. Allah menciptakan laki-laki dan wanita untuk dibedakan, pribadi-pribadi yang memuliakan Tuhan, yang tunduk kepada FirmanNya dan produktif dengan peran yang diberikan. Alkitab tidak mengajarkan "inferioritas" wanita, dan para theolog sejati tidak pernah menganut paham tersebut. Allah menciptakan wanita bagi laki-laki sebagai, secara literal, "penolong yang sepadan dengan dia" (Kej. 2: 18). Wanita Kristen harus berusaha menyamai atau melebihi wanita-wanita kudus zaman dahulu dan menunjukkan sikap yang berasal dari "roh yang lemah lembut dan tenteram, yang sangat berharga di mata Allah" (I Ptr. 3: 4). Wanita-wanita yang telah diselamatkan harus "hidup bijaksana dan suci, rajin mengatur rumah tangganya, baik hati dan taat kepada suaminya" (Titus 2: 5). "Kemolekan adalah bohong dan kecantikan adalah sia-sia, tetapi isteri yang takut akan Tuhan dipuji-puji" (Amsal 31: 30). Tak satupun gambaran-gambaran ini yang cocok dengan wanita ideal yang dinyatakan oleh kaum feminis injili. Banyak dari mereka yang bersuara tinggi, "lancang", dan menuntut "hak-hak" mereka. Seorang wanita yang kudus tidak demikian.

Perkedel Yang Tidak Begitu Surgawi
Ketika saya masih remaja, keluarga saya tidak begitu berada. Kami harus menghemat. Untuk itu, ibu saya sangat ahli memanfaatkan semua makanan yang masih tersisa selama seminggu. Dengan yakin ia mencampur berbagai bahan makanan yang berbeda, menambahkan bumbu, dan menyajikan "perkedel surgawi"nya yang terkenal. "Apa yang ada di dalamnya? Siapa yang tahu? Kami makan saja dan mengucapkan syukur kepada Tuhan bahwa masih ada sesuatu yang bisa dimakan. Kini semakin banyak "perkedel theologis" yang sedang disajikan dengan macam-macam porsi.

Beberapa tahun yang lalu salah satu kelompok yang ada sebelum World Council of Churches (Dewan Gereja Dunia) membuat slogan "Doktrin memisahkan, pelayanan mempersatukan". Sementara tidak semua injili sepenuhnya menyetujui tujuan dari perkataan itu, namun meskipun demikian, slogan itu mencerminkan sikap injili yang merata. Ketika saya masih menjadi gembala di sebuah kota di bagian barat-tengah, seorang gembala kharismatik lokal datang menemui tata-usaha sekolah kami. Ia mengomentari perkembangan agama yang sedang terjadi, "Apa yang harus kita lakukan adalah melupakan semua masalah doktrin ini, dan mengasihi Yesus saja". Kedengarannya bagus, bukan? Kita tidak perlu doktrin - cukup Yesus saja. Namun harap dijawab, siapakah Yesus itu? Pada saat anda berusaha menjawab pertanyaan itu, maka anda sudah masuk ke dalam bidang doktrin.

Kedangkalan tertentu telah berkembang di dalam kalangan injili selama bertahun-tahun. Ini bukan berarti tidak ada yang memperhatikan theologi, tetapi Carl Henry mencatat bahwa sementara injili berkembang, "sedikit sekali theologi serius mendapat perhatian... Youth for Christ (Pemuda bagi Kristus), misalnya, lebih mudah melontarkan 'sorak-sorai bagi Yesus' daripada mengulang Pengakuan Iman Rasuli".[47] Bloesch mengeluh bahwa "secara khusus yang mencolok dalam kehidupan jemaat Amerika adalah menghilangnya substansi doktrinal dan rasuli. Terjadi suatu keasyikan dengan menguatnya kehidupan dari dalam dan keselamatan holistik (universal), tetapi kesetiaan kepada iman rasuli... sangat menyedihkan".[48] Ketika membahas evolusi tentang Fuller Theological Seminary masa kini, Roberta Hestenes, yang pernah mengajar disitu, mengatakan bahwa tujuan dari sebuah seminari bukan hanya untuk pengembangan intelektual, tetapi memelihara semangat pelayanan, karena itu "pembentukan rohani barangkali lebih penting daripada ketepatan theologis".[49] Tetapi bagaimana mungkin orang memiliki pertumbuhan rohani tanpa disertai pertumbuhan theologis, yakni pemahaman doktrin yang mendalam? Petrus memperingatkan kita untuk "bertumbuh dalam kasih karunia dan dalam pengenalan akan Tuhan dan Juruselamat kita, Yesus Kristus" (II Ptr. 3: 18). "Pertumbuhan" dan "pengenalan" berjalan seiring. "Pengenalan" berhubungan dengan peningkatan pemahaman kebenaran doktrinal. Jika ada lembaga yang harus berpegang teguh pada "ketepatan theologis", maka itu adalah seminari theologis (sekolah theologi).

Yang populer sekarang adalah konsep bahwa kasih adalah bahan yang terpenting di dalam kehidupan orang Kristen. Secara umum yang dimaksud dengan kasih adalah suatu toleransi yang longgar terhadap kesalahan, bahkan kesalahan yang kasar, dan semangat lemah-lembut untuk menerima setiap dan semua orang yang menyebut diri injili. Sikap inilah yang telah membuat pengajaran kharismatik menjadi sebuah fitur gereja kontemporer yang demikian istimewa. Para pemimpin gereja akan mengatakan, "Saya secara pribadi bukan kharismatik, namun gerakan kharismatik telah melakukan banyak hal yang baik, dan kita tidak boleh mengecamnya. Kita harus mengasihi saudara-saudara itu". Jadi, dalam nama kasih, segala macam pengajaran sesat dimaafkan. Kita perlu mendengarkan Martin Luther yang menulis, "Doktrin itu bukan milik kita tetapi milik Allah... Karena itu, sedikitpun kita tidak boleh melepaskannya atau mengubahnya... Terkutuklah kasih karunia yang dipertahankan, karena perusakan doktrin iman itu.... Karena doktrin merupakan satu-satunya terang yang ... menunjukkan jalan kepada kita untuk menuju ke surga. Jika ada satu bagian yang goyah, maka semuanya akan menjadi goyah. Jika hal itu terjadi, maka kasih karunia tidak bisa menolong kita".[50]

Namun ada yang mencatat, bahwa banyak artikel tentang doktrin yang telah ditulis, dan banyak diskusi juga telah dilakukan. Menanggapi hal ini kita mencatat dua hal: (1) pada umumnya diskusi-diskusi tersebut di luar jangkauan dari rata-rata orang percaya di dalam sebuah jemaat lokal, dan (2) mereka yang terlibat dalam diskusi berbagai kasus tidak mempunyai itikad untuk menegaskan bahwa pandangan tertentu sebagai satu-satunya pandangan yang benar. Ia menjadi sebuah "opsi (pilihan)" atau suatu "pandangan alternatif". Dalam banyak kasus terjadi kekurangpastian yang nyata, disertai keengganan untuk mencap pandangan injili tertentu sebagai sesuatu yang salah. Gerakan kharismatik menambah permasalahan ini, karena banyak dari mereka memperkenalkan gagasan bahwa "Baptisan Roh" merupakan katalisator yang akan mempersatukan semua orang dan perbedaan doktrinal yang lain dapat diabaikan. Martyn Lloyd-Jones sensitif mengenai masalah ini dan memprihatinkannya ketika ia masih hidup. "Ini merupakan salah satu masalah besar yang dihadapi oleh kita sebagai orang Kristen injili pada masa kini, karena ada orang injili yang kini berbicara seperti berikut: mereka mengatakan bahwa doktrin tidak menjadi masalah. Dengan kata lain, mereka mengatakan bahwa anda bisa memiliki kesatuan sejati ini, meskipun terdapat pertentangan besar mengenai doktrin-doktrin yang esensial dan vital".[51]

Kita semua bisa bersyukur kepada Allah karena pencemaran doktrin ini bukan merupakan sikap Paulus. Ia tidak pernah mengabaikan atau mengecilkan kebenaran Alkitab yang mahal sambil berpura-pura mempraktekkan kasih Kristen. Ia menasehatkan agar doktrin yang sehat diajarkan. Ia juga memperingatkan, "Jika seorang mengajarkan ajaran lain dan tidak menurut perkataan sehat... dan tidak menurut ajaran yang sesuai dengan ibadah kita, ia adalah seorang yang berlagak tahu padahal tidak tahu apa-apa" (I Tim. 6: 3-4). Tugas para gembala adalah "selalu mengingatkan hal-hal itu kepada saudara-saudara kita" sehingga mereka akan "terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat" (I Tim. 4: 6). Mereka harus memberikan perhatian khusus dalam "membaca Kitab-kitab Suci, dalam membangun, dan dalam mengajar" (I Tim. 4: 13).

Setan Berada di Balkon Paduan Suara
Pergeseran doktrinal yang telah kita bicarakan juga nyata terjadi di dalam bidang musik Kristen. Kecengengan dan kedangkalan theologi yang demikian jelas terjadi di dalam gereja masa kini dapat dilihat dalam fenomena yang dikenal sebagai "Musik Kontemporer Kristen". Mengenai hal ini Horton menyampaikan pengamatannya yang sangat tajam:

Dengan kata lain, pergeseran tersebut..., secara umum, adalah suatu perubahan penekanan dari berpusat kepada Allah (God-centered), yang bagi saya merupakan iman yang historis dan obyektif, tetapi di luar saya, menjadi berpusat kepada manusia (man-centered) yang merupakan iman eksistensial, subyektif, yang hanya menekankan pengalaman pribadi dengan Roh atau dengan Yesus semata-mata.

Perubahan ini tercermin dalam ungkapan, "Mari kita mengasihi Yesus saja - theologi hanya penghambat saja".[52]

Musik Kristen Kontemporer yang kini sangat disukai oleh banyak kalangan injili menjadi saksi kemerosotan theologis gereja. Orang-orang Kristen yang rohani sangat terkejut dengan musik yang berbunga-bunga, liar, tidak tertib dan duniawi yang dinyanyikan dan dimainkan oleh kelompok-kelompok yang disebut group rock Kristen. Ini bukan hanya sekedar masalah kesenjangan generasi. Antara yang rohani dan yang kedagingan terdapat perbedaan. "Musik yang lebih tua pada dasarnya bersifat intelektual; ia ada di dalam akal-budi dan dalam perasaan yang dikenal oleh akal-budi; musik baru menggoncang seluruh tubuh dan merasuki jiwa".[53] Disini Reich ingin membedakan musik klasik yang sekuler dan rock modern, namun hal yang serupa bisa digunakan untuk membedakan musik tradisional Kristen dan "irama modern". Pendapat yang serupa ini juga ditegaskan oleh Robert Pattison di dalam bukunya, The Triumph of Vulgarity: Rock Music in the Mirror of Romanticism ("Kemenangan Kekasaran: Musik Rock dalam Cermin Romantisme"). Ia mengatakan, "Syair lagu rock diliputi oleh bahasa emosi: kebutuhan, keinginan, dan perasaan merupakan susunan dari perbendaharaan katanya yang abstrak. Logika dan akal-sehat selalu diiringi dengan kehilangan masa muda dan kematian semangat hidup".[54]

Budaya musik rock masa kini nyata sekali telah ditahbiskan dan telah mengenakan jubah paduan suara gereja. Beberapa tahun yang lalu kita mulai mendengar seruan, "Anda tidak mungkin menjangkau anak-anak muda kecuali jika anda menggunakan gaya musik kesukaan mereka". Sejak kapan pragmatisme terang-terangan dijadikan standar gereja untuk menjangkau keluar? Para gembala dan pemimpin gereja menjadi grogi dan memutuskan bahwa mereka harus bersaing dengan budaya rock sekuler. Karena itu mereka menjadi "entrepreneur pendorong emosional". Sekali Allah menjadi komoditi untuk pemuasan-diri, maka nasibnya tergantung kepada perilaku emosional pasar".[55]

Pendorong utama musik populer Kristen modern adalah pengalaman. Ia sangat cocok dengan budaya egoisme masa kini, dimana pribadi-pribadi menekankan "pemenuhan kebutuhan mereka". "Rock merupakan musik yang diciptakan untuk tunduk kepada visi budaya baru ini... Ia memiliki daya-tarik alami bagi anak muda, yang menyukai kebisingan, emosional, dan tontonan sensual. Selain itu ia juga memenuhi keinginan kebanyakan orang dewasa Barat yang canggih, yang telah bosan dengan tradisi budaya tinggi dan ingin mencari kebebasan pengalaman".[56] Walaupun musik memang bisa mencerminkan emosi, namun ia tidak boleh hanya sekedar emosional. Sebaliknya, ia harus terikat dengan akal-budi dan tertambat erat dengan konsep theologi yang diajarkan di dalam Kitab Suci. "Aku akan menyanyi dan memuji juga dengan akal-budiku" (I Kor. 14: 15). Musik yang memuliakan Allah bukan hanya merupakan perasaan hati, namun juga harus memiliki keabsahan intelektual. "Musik pop masa kini, dengan pengecualian tertentu, mencerminkan apathisme terhadap masalah-masalah kehidupan modern yang serius... Porsi terbesar musik 'Top 40' adalah upbeat (irama yang tidak terlalu keras), enteng, dan cocok untuk dansa, tidak terlalu berat untuk pikiran dan perasaan. Dan, anehnya, gaya persis 'Top 40' inilah yang mendominasi seluruh industri musik Kristen".[57]

Di dalam karya menariknya, Will Evangelicalism Survive Its Own Popularity? Johnston mengatakan bahwa "tidak ada bidang yang lebih nyata lagi dari faddisme (pengikut mode) injili selain daripada preferensi dan ekspresi musikal kita... Selera musikal mudah didikte oleh para pengikut mode daripada oleh orang yang sungguh-sungguh merindukan kerohanian yang benar... dan ini berarti bahwa lagu terbaru yang menggelitik kelihatannya akan menjadi keharusan bagi kita".[58]

Adaptasi Budaya
Gagasan itu kini sudah umum, yaitu jika ingin berhasil menjangkau orang-orang fasik masa kini, kita harus mempelajari budaya mereka dan berusaha mengadaptasikan pengajaran Kristen ke dalamnya. Orang Kristen fundamentalis yang alkitabiah sama sekali meragukan pernyataan-pernyataan yang berasal dari ucapan dan tulisan para pemimpin Injili Baru. Kelihatannya Allah membutuhkan pertolongan untuk menobatkan orang-orang berdosa. Kita harus sedapat mungkin menghilangkan perbedaan antara gereja dan dunia, sehingga dapat membuat Injil Kristus lebih cocok dengan dunia. Permasalahannya adalah, sekali proses itu dimulai, gereja akan mulai lebih duniawi daripada dunia menjadi lebih gerejawi. Salah seorang pendiri Injili Baru, Carl Henry, pada hari-hari senjanya menyampaikan pengakuan: "Sementara kaum injili berusaha mempengaruhi budaya, secara simultan budaya itu sendiri melakukan jebolan yang memalukan ke dalam kehidupan injili".[59]

Dengan hadirnya kaum injili yang muda dan duniawi yang telah disinggung di bagian depan buku ini, maka muncullah suatu usaha yang disepakati bersama untuk "memperbaharui" iman Kristen dan mengadaptasikannya ke dalam lingkungan kontemporernya. Beberapa tahun yang lalu Quebedeaux mengakui fakta ini ketika ia mengatakan, "Pengaruh budaya yang lebih luas terhadap gerakan injili kontemporer tidak kurang menggemparkan. Tidak salah pernyataan Marty yang menyatakan bahwa kaum injili semakin hari semakin melakukan kompromi dengan budaya yang lebih luas".[60]

Kaum injili modern berhasrat untuk membuat "iman" menjadi mode dan dapat diterima oleh zaman kita. Mereka mengatakan, bahwa kita bisa mendapat pengetahuan dari orang-orang yang belum diselamatkan di sekitar kita. Pemahaman dari dunia "dengan mudah akan datang dari orang-orang tidak percaya seperti halnya dari orang-orang percaya... Orang-orang non-Kristen dapat memampukan orang-orang Kristen untuk melihat implikasi Injil dengan lebih jelas".[61]

Dengan kata lain, orang-orang fasik, dengan pikiran yang sama sekali buta terhadap kebenaran rohani dan persepsi yang berbelit-belit, mampu menuntun orang Kristen mengenal sifat dunia ini dan kebutuhannya. Aneh jika Rasul Paulus tidak memiliki wawasan tentang kemampuan orang-orang fasik yang sangat menolong ini. Ia lebih memandang mereka sebagai "orang-orang yang... pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dan karena kedegilan hati mereka" (Ef. 4: 17-18). Orang-orang fasik tidak bisa menilai dunia secara benar maupun memberitahu orang Kristen bagaimana cara menginjil secara benar, karena mereka sama sekali tidak memiliki pengertian rohani. Hal ini jelas mementahkan usulan dari seorang injili muda yang mengatakan bahwa kita perlu mengembangkan theologi kita dengan "mendengarkan budaya kita" dan tetap memelihara "Kitab Suci".[62] Baginya theologi memiliki dua sumber - budaya yang berlaku dan Kitab Suci. Posisi yang benar dan historis adalah, bahwa theologi hanya bersumber dari eksegesis Kitab Suci. Seseorang tidak mungkin memegang Alkitab di satu tangan sambil memiringkan satu telinganya untuk mendengarkan pendapat duniawi. Alkitab telah lulus dari penghakiman final dunia, bukan dunia yang telah lulus dari penghakiman Alkitab.

Orang-orang Kristen yang percaya Alkitab seharusnya sangat prihatin dengan "rasionalitas modernitas yang jelas mempunyai pengaruh nyata dalam alam pikiran Kristen Injili".[63] Dengan cara apakah pengaruh ini menyatakan dirinya? Karakteristik budaya duniawi manakah yang terlihat di dalam Kekristenan modern? Kenneth Myers di dalam bukunya, All God's Children and Blue Suede Shoes, menyebutkan beberapa di antaranya.[64]

Berfokus kepada hal yang baru

Meyakini aksesibilitas (kemudahan) langsung

Meninggikan popularitas

Tertarik pada hal-hal sentimental

Isi dan bentuknya ditentukan oleh permintaan pasar

Mencerminkan keinginan-keinginan pribadi

Kecenderungan pada relativisme

Semua hal ini dengan mudah ditemukan di dalam gerakan pertumbuhan gereja modern, dalam pelayanan gereja-gereja raksasa (megachurches), dalam Musik Kristen Kontemporer yang populer, dalam khotbah para selebritis injili, dan dalam literatur injili masa kini.

Sementara kaum injili, setidak-tidaknya secara teori, mengakui otoritas final Firman Allah, namun dalam praktek, mereka meruntuhkan otoritasnya melalui penafsiran yang dipengaruhi oleh budaya. Pengamatan Pinnock, meskipun panjang lebar, namun penting untuk memahami perkembangan yang sedang terjadi di dalam kalangan injili.

Setiap generasi membaca Alkitab sebagai dialog dengan visi dan perkiraan budayanya sendiri dan terpaksa mengikuti alam pikiran zamannya... Kini... kita membaca lagi Alkitab, namun dalam konteks abad keduapuluh dan menemukan wawasan baru yang tidak kita perhatikan sebelumnya. Seperti Augustine yang mengikuti pemikiran Yunani kuno, demikian juga kita berdamai dengan budaya modern. Dengan pengaruh budaya modern, kita merasakan realitas sebagai sesuatu yang dinamis dan historis, sehingga menyebabkan kita memandang hal-hal di dalam Alkitab dengan cara yang berbeda dengan yang sebelumnya. Zaman dimana kita bisa menjadi realis yang naif di dalam hermeneutika telah lewat; keberadaan kita mempengaruhi apa yang kita lihat, dan perbedaan doktrin Alkitab yang kaya mempunyai makna bahwa perubahan orientasi adalah selalu dimungkinkan, sehingga memampukan kita untuk berkomunikasi dengan pendengar-pendengar kontemporer kita dengan nada yang segar.[65]

Pelajari pernyataan ini dengan seksama. Hal utama yang dikatakan oleh Pinnock adalah, bahwa penelitian Alkitab kita tidak boleh hanya menggunakan eksegesis, yaitu untuk mengetahui apa yang dikatakan Alkitab, tetapi harus juga disertai dengan masukan dari budaya dunia. Hal ini sungguh merupakan pendekatan yang berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh para penafsir Alkitab fundamentalis yang historis. Kini dunia yang membantu kita untuk menafsirkan Alkitab. Hal ini hanya akan menyebabkan bencana rohani seperti yang telah terjadi. Kita tidak boleh menjadi "realis dalam hermeneutika", kata Pinnock. Kita tidak bisa begitu saja menarik makna yang ada di dalam Alkitab. Kita harus menafsirkannya melalui kacamata modernitas. Dalam hal ini, kita harus "memandang hal-hal di dalam Alkitab dengan cara yang berbeda dengan yang sebelumnya". Beberapa kalangan injili merasa malu dengan fakta bahwa penafsiran Alkitab tradisional tidak seiring dengan pandangan orang-orang zaman sekarang, sehingga mencari jalan untuk menyesuaikan Alkitab dengan pandangan-pandangan modern tersebut, sementara tetap mempertahankan bahwa mereka adalah "injili". Ini adalah manipulasi hermeneutika yang cekatan, namun merupakan cara yang menghancurkan inerrancy dan otoritas Alkitab yang lebih rumit dibandingkan dengan serangan "kaum modernis" zaman dahulu. Hermeneutika injili modern, dengan pemutarbalikannya yang licik atas makna Firman Allah yang sejati, adalah lebih berbahaya daripada serangan yang lebih mencolok dari mereka yang menyatakan diri tidak bersahabat dengan Alkitab.

Pencaharian Pembaharuan Masa Kini
Yang dicatat di depan adalah beberapa karakteristik injili masa kini. Salah satunya adalah "menginginkan hal-hal yang baru". Karakter yang satu ini telah menjadi duri bagi banyak gembala. Anggota-anggota jemaat dari gereja-gereja yang lebih tradisional dan fundamentalis telah terpengaruh oleh pemikiran injili kontemporer melalui kontak pribadi, literatur, radio dan televisi, serta pertunjukan dramatis dan musik yang mengesankan. Sebaliknya, gereja fundamentalis dan alkitabiah kelihatan agak membosankan dan tidak menggairahkan, dan (surgawi melarang!) kita tidak boleh mengizinkan apapun yang "menggairahkan". Beberapa, terutama para konstituensi fundamentalis yang lebih muda, telah terpikat dengan pendekatan dan gaya Injili Baru. C.S. Lewis mencatat bahwa salah satu perbedaan terbesar antara wanita dan pria modern dengan para pendahulu mereka yang pra-modern adalah keyakinan bahwa yang baru lebih baik dibandingkan yang lama (tua).[66] Terjadilah arus pencaharian pembaharuan yang telah menawan banyak injili. Banyak gereja yang termasuk Injili Baru melonggarkan peraturan terhadap para anggotanya, sehingga merujuk kepada para "baby boomers" (generasi muda tahun 1960-an yang bergaya hidup bebas - penerjemah) yang tidak suka ditekan oleh komitmen gereja yang kuat. Johnston memperingatkan:

Ini adalah masa terbuka terhadap standar gereja yang "lama". Dengan enteng kita bertanya: Apa hak gereja untuk berharap saya mematuhi ketentuan-ketentuan yang dibuat bertahun-tahun yang lampau? Standar yang telah menjadi fosil ini hanya mengekang gaya saya, dan membuat saya kelihatan kuno di hadapan orang yang sedang ingin saya menangkan bagi Kristus? Mengapa saya harus terbelenggu oleh beban yang tidak perlu ini? Berdasarkan pendirian inilah kita lebih suka mengurangi jumlah dan intensitas tuntutan yang dibebankan kepada diri kita dan membuat suatu komitmen yang lebih longgar.[67]

Alkitab sama sekali tidak mengajar kita untuk menyesuaikan diri dengan pendapat duniawi agar Injil mau didengar. Dunia itu jahat. Ia menentang Allah, dan berada dalam kegelapan dan alam maut. "Sebab semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia" (I Yoh. 2: 16). Yakobus mengatakan, "persahabatan dengan dunia adalah permusuhan dengan Allah" (Yak. 4: 4). "Dunia... tidak mengenal Allah oleh hikmatnya" (I Kor. 1: 21), namun gereja modern tetap saja merujuk kepada hikmat dunia ini dan merasa lebih baik melakukan hal tersebut. Tuhan Yesus Kristus ditempatkan untuk mengeluarkan umatNya dari dunia (Yoh. 17: 6), bukan membuat mereka nyaman tinggal di dalamnya. Orang-orang percaya harus konsentrasi untuk "mengalahkan dunia" (I Yoh. 5: 4), bukan membiarkan dirinya dikalahkan oleh dunia.

Daya Tarik Psikologi
Kalangan injili masa kini telah terpesona dengan psikologi. Sebuah penelitian mengenai buku-buku yang diterbitkan oleh delapan penerbit besar literatur injili mengungkapkan bahwa 12,30% dari semua judul buku tersebut adalah termasuk kategori yang dapat didefinisikan bersifat "psikologis", yakni usaha untuk menjelaskan kebutuhan emosional dan psikologis manusia dipandang dari sudut Alkitab.[68] Hal ini mencerminkan subyektifisme yang unik dalam kalangan injili. Ia mempengaruhi dunia pengkhotbah, karena banyak kalangan injili masa kini tidak menginginkan instruksi doktrinal dari Firman Allah, namun lebih menyukai khotbah mengenai hal-hal praktis atau diskusi tentang "bagaimana" menjawab permasalahan hidup dan mengatasi kebingungan jiwa manusia. "Sebagai reaksi terhadap polemik generasi yang terdahulu, mereka menyimpulkan bahwa keutuhan psikologis merupakan tujuan yang lebih bermanfaat daripada ketepatan doktrinal. Sungguh memalukan menyadari bahwa di dalam berbagai konferensi dan retreat injili, diskusi kelompok kecil dan dinamis lebih menonjol daripada ceramah-ceramah yang ilmiah".[69]

Seperti kesaksian yang dapat diberikan oleh setiap gembala fundamentalis, masa kini jelas terjadi kemerosotan ketertarikan pada masalah doktrinal dan kebenaran Firman Allah yang mendasar dibandingkan beberapa tahun silam. Pengajaran Alkitab yang kokoh menjadi kurang populer dan digantikan dengan khotbah topik-topik psikologis. Tak pelak lagi bahwa "psikologi sedang memainkan peran utama di dalam kemerosotan Kekristenan yang terus menerus dan goyah".[70]

Ada tempat yang sah sebagai rujukan nasehat yang alkitabiah. Pergumulan pribadi dan petunjuk dari Kitab Suci senantiasa seimbang. Paulus "menasehati, menguatkan dan mendesak" orang-orang percaya di Tesalonika "seperti bapa terhadap anak-anaknya" (I Tes. 2: 11-12). Ia adalah penasehat yang alkitabiah. Tetapi kini begitu banyak orang yang telah berlalu hanya sebagai "penasehat Kristen" yang tidak ada apa-apanya.[71]

Racun Di dalam Teko
Injili Baru berasal dari pikiran kaum intelektual injili. Mereka banyak yang merupakan profesor dari berbagai sekolah injili. Mereka menyentuh hidup ribuan orang muda yang terkesan seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan mereka saat ini. Satu persatu institusi terpelajar yang didirikan dan diasuh oleh kaum fundamentalis masa lalu mulai jatuh menjadi mangsa pengajaran Injili Baru.

Bagaimana sekolah-sekolah yang dianggap injili itu bisa bergeser dari tambatannya? Pertama, melalui pengaruh para anggota staf pengajar. Staf pengajar setiap hari berkomunikasi dengan pelajar dan - lebih sering daripada pengelola - mempunyai pengaruh yang terus menerus terhadap pelajar itu. Jika seseorang ingin mempertahankan pendirian fundamentalis yang kokoh, maka orang harus mempekerjakan staf pengajar yang berasal dari keyakinan itu. Tetapi darimanakah kebanyakan profesor di sekolah-sekolah injili itu memperoleh keahliannya? Mereka adalah lulusan dari beberapa institusi yang paling liberal di dunia. Sementara secara terpisah ada juga contoh fundamentalis-fundamentalis besar yang merupakan lulusan institusi-institusi tersebut yang tidak tercela, namun jumlah mereka sangat kecil. Walaupun seorang pribadi tidak selalu menerima apa saja yang dipaparkan kepadanya di dalam suatu institusi pembelajaran yang lebih tinggi, namun hampir boleh dikatakan ia akan sangat terpengaruh. "Dengan pengembangan fakultas yang memiliki tingkat doktorat yang terbaik dalam setiap disiplin ilmu akademis di seminari dan sekolah tinggi injili, tidaklah mengherankan bahwa institusi-institusi yang sama ini sangat terpengaruh oleh para cendekiawan yang dihasilkan dan diajar di universitas-universitas sekuler yang paling bergengsi".[72] Ini merupakan sebuah lingkaran setan.

Banyak kaum injili muda... memasuki dunia akademis, dan memperoleh pendidikan non-gelar dan tingkat kesarjanaan dari sekolah-sekolah sekuler yang terbaik. Tetapi ada sesuatu yang terjadi di dalam proses itu... banyak dari injili-injili muda tersebut mulai dirasuki oleh alam pemikiran anti-Kristen yang mendominasi pemikiran sekolah dan para profesor mereka. Di dalam proses itu, setiap pandangan Kristen injili yang istimewa diakomodasikan kepada pemikiran sekuler disiplin ilmunya dan semangat yang ada di dalam zaman kita. Untuk melengkapi siklus itu, banyak dari antara mereka yang kini kembali mengajar di sekolah-sekolah injili, dimana materi yang mereka sajikan di dalam kelas sedikit sekali yang bersifat keistimewaan Kristen.[73]

Banyak sekolah-sekolah dan seminari yang mengaku Kristen lebih tertarik dengan gengsi gelar akademis dari para profesor mereka daripada terhadap komitmen rohani dan doktrinal mereka. Hunter, dalam pengamatannya di dalam survei terhadap institusi-institusi injili yang luas, mengatakan, "Fokus pendidikan juga berubah. Barangkali ukuran yang paling nyata mengenai hal ini adalah perubahan peran dari para profesor. Sebelumnya, orthodoksi (dalam denominasi yang benar) menjadi penguji utama bagi persyaratan akademis sebuah posisi sekolah tinggi, penekanan itu kini hampir secara eksklusif diserahkan kepada kompetensi dan mandat akademi tersebut".[74] Salah seorang staf pengajar dari sebuah sekolah tinggi injili mengatakan, "Siapa yang ingin mempertahankan dogmatisme [agama] dan parokhialisme [moral]...? Saya tidak - dan kebanyakan kolega saya juga tidak. Kami menginginkan iman injili yang menonjol, tetapi sejak kapan bentuk komitmen agama ini juga mengharuskan komitmen yang tegas tentang rumah-tangga yang berpusat pada pria dan segala hal yang sangat tidak menyenangkan itu? Apa yang dikatakan oleh beberapa kalangan sebagai 'kontaminasi' atau 'erosi', saya sebut itu sebagai sebuah 'keberhasilan' ".[75]

Berbeda dengan hal ini, kita mendapat peringatan Paulus yang kelihatan sangat prihatin agar doktrin yang benar diteruskan dari generasi ke generasi. "Apa yang telah engkau dengar daripadaku di depan banyak saksi, percayakanlah itu kepada orang-orang yang dapat dipercayai, yang juga cakap mengajar orang lain" (II Tim. 2: 2). "Apa yang telah didengar" oleh Timotius, tentu saja, adalah doktrin-doktrin iman mulia yang diajarkan oleh Paulus kepada Timotius. Ia harus memastikan bahwa doktrin-doktrin tersebut dipelihara (dipertahankan) secara utuh dan diteruskan kepada orang-orang yang diajarnya.

Seiring dengan kemerosotan keyakinan doktrinal itu, terjadi juga kemerosotan standar. Sebaliknya hampir semua sekolah tinggi Kristen biasanya memiliki standar perilaku yang agak keras, banyak, jika bukan kebanyakan dari mereka, sungguh-sungguh telah melonggarkannya. Hunter mencatat bahwa mereka bahkan memperkenalkan standar apa yang sebenarnya mereka miliki dengan "cara yang penuh kesadaran dan bernada agak minta maaf".[76] Dengan kata lain, mereka kelihatannya malu untuk mengakui bahwa mereka mempunyai standar yang bebas untuk diikuti para mahasiswa.

Karunia Kharismatik
Lahirnya Injili Baru mendapat tambahan akseptasi umum dari garis Pentakosta lama yang merupakan mayoritas anggota National Association of Evangelicals (NAE = Asosiasi Injili Nasional). Kemudian, ketika gerakan kharismatik yang baru-baru bangkit, mereka juga diasimilasikan ke dalam gerakan Injili Baru dan mempunyai pengaruh yang sangat luas di dalamnya. Akibatnya, terjadilah perubahan-perubahan di dalam injili. "Gerakan kharismatik yang sedang berkembang juga mengubah karakter banyak injili di dalam hal-hal yang penting. Penekanan berubah... ke arah aspek pengalaman Kekristenan, yakni perasaan kedekatan kepada Yesus melalui Roh yang ada di dalam".[77] Kami telah memberikan pendapat atas penekanan ini, yang begitu menonjol dalam injili. Pengalaman menjadi lebih penting, atau setidak-tidaknya sama pentingnya dengan doktrin.

Gereja-gereja injili, meskipun tidak selalu bersifat kharismatik, namun bekerjasama dengan kharismatik dan menolak untuk menentang mereka. Charles Swindoll, seorang penulis populer dan tokoh radio, barangkali menyimpulkan dengan cukup bagus sikap yang berlaku ketika ia mencoba mempertahankan konsep kasih-karunianya: "Berikut adalah contoh ikatan-kasih karunia yang lain. Saya bukan seorang kharismatik. Namun, saya merasa itu bukan panggilan saya untuk memberondongkan tembakan artileri theologis kepada saudara-saudari kharismatik saya. Siapa yang bisa mengetahui berapa banyak kebaikan yang telah mereka lakukan dan pelayanan luar-biasa yang banyak mereka miliki? Gereja yang saya gembalakan bukan sebuah gereja kharismatik... tetapi itu bukan berarti bahwa kita memutuskan persekutuan dengan pribadi-pribadi yang lebih banyak dari kelompok itu atau menembak mereka dari dekat".[78]

Namun, pertanyaan yang harus dihadapi adalah berikut: Apakah pengajaran-pengajaran kharismatik itu alkitabiah? Jika jawabannya adalah ya, maka kita harus menerimanya. Jika jawabannya tidak, maka kita harus menentangnya. Permasalahannya bukan pada apakah kaum kharismatik itu orang yang baik atau tidak, atau bahkan apakah mereka itu orang Kristen. Masalahnya adalah sifat dari kebenaran itu. Apakah Alkitab mengajarkan bahwa karunia berbahasa lidah masih berlangsung di dalam jemaat masa kini, beserta dengan karunia-karunia khusus lainnya yang dinyatakan oleh banyak orang kharismatik? Jika tidak, maka pengajar-pengajar Alkitab yang setia tidak boleh berdiam diri, sementara doktrin-doktrin tersebut disebarluaskan, sehingga menjangkiti banyak orang. Paulus terus menerus menentang doktrin sesat, sementara ia melayani jemaat-jemaat yang masih bayi. Ia memberikan tuntunan kepada gembala muda Timotius dengan wejangan berikut: "... dengan lemah lembut dapat menuntun orang yang suka melawan, sebab mungkin Tuhan memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertobat dan memimpin mereka sehingga mereka mengenal kebenaran" (II Tim. 2: 25). Tujuannya adalah bahwa para pengajar harus menghadapi orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, berusaha mengoreksi mereka, dan berdoa agar mata mereka dicelikkan dan doktrin mereka berubah. Jika kharismatik salah di dalam pengajaran mereka (dan memang mereka salah), maka orang-orang yang memiliki pegangan Kitab Suci yang lebih baik harus mengatakan mereka salah, menunjukkan kepada mereka mengapa, dan berusaha memenangkan mereka ke dalam posisi yang lebih alkitabiah. Bersikap diam di hadapan kesalahan bukanlah tanda kasih karunia dan kasih Kristen.

Kesimpulan

Injili Baru terus berkembang dengan cepat. Dari awal yang kecil pada tahun 1950-an telah berkembang menjadi gerakan yang besar dan pervasif (merasuk), yang telah menjerat gereja, sekolah dan organisasi-organisasi parachurch. Orang-orang yang menentangnya dicap sebagai kaum fanatik yang tidak mempunyai kasih dan kaum obscurantist (orang yang tidak jelas) yang berpikiran sempit. Tetapi syukur kepada Tuhan, masih banyak orang yang belum "bertekuk lutut" dan menyerah kepada pengajaran yang tidak alkitabiah dan sikap gerakan ini. "Kenakanlah seluruh perlengkapan senjata Allah... berdirilah tegap, berikatpinggangkan kebenaran..." (Ef. 6: 11, 14).>

-----------------------------------------------------------------------------

[1]James D. Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 157.

[2]Clark Pinnock, "The Arminian Option", Christianity Today, 19 Januari 1990, hal. 15.

[3]Clark Pinnock, "Making Theology Relevant", Christianity Today, 29 Mei 1981, hal. 49.

[4]Donald Bloesch, "The Future of Evangelical Christianity", hal. 34.

[5]James D. Hunter, "American Evangelicalism", hal. 132.

[6]Francis Schaeffer, "The Great Evangelical Disaster", hal. 88.

[7]Mark Ellingsen, "The Evangelical Movement", hal. 101.

[8]George Marsden, "Understanding Fundamentalism and Evangelicalism", hal. 64.

[9]Will Durant, "The Story of Philosophy", hal. Hal. 116.

[10]"Passing It On: Will Our Kids Recognize Our Faith?" World, 11 Maret 1989, hal. 5-6.

[11]Harold Lindsell, "The Bible in the Balance", hal. 319-320

[12]Bloesch, hal. 32-33.

[13]Ibid., hal. 118.

[14]Ibid., hal. 119.

[15]Ibid., hal. 120.

[16]Surat pribadi kepada James Hollowood, 15 September 1966.

[17]Richard Quebedeaux, "The Evangelicals: New Trends and New Tension", Christianity and Crisis, 23 September 1976, hal. 198.

[18]Clark Pinnock, "The Inerrancy Debate Among the Evangelicals", Theology, News and Notes, hal. 12.

[19]David Hubbard, "What We Believe and Teach", hal. 6.

[20]David Hunt dan T. A. McMahon, "The Seduction of Christianity", hal. 179.

[21]Francis Schaeffer, hal. 60.

[22]Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 184.

[23]Stephen Clark, "Modern Approaches to Scriptural Authority", Christianity Confronts Modernity, hal. 174.

[24]Robert Brow, "Evangelical Megashift", Christianity Today, 19 Februari 1990, hal. 12

[25]Ibid., hal. 13.

[26]Ibid., hal. 14.

[27]Ibid.

[28]Ibid., hal. 12.

[29]Franky Schaeffer, "Bad News for Modern Man", hal. 45.

[30]Bruce Larson, "The Relational Revolution", hal. 32.

[31]Hunter, "American Evangelicalism", hal. 91.

[32]Ibid., hal. 88.

[33]Charles Swindoll, "The Grace Awakening", hal. 227-228.

[34]Carl Henry, "YFC's 'Cheer for Jesus' No Substitute for the Apostolic Creed", World, 11 Maret 1989, hal. 7.

[35]Ellingsen, hal. 105.

[36]Bloesch, hal. 104.

[37]Ibid., hal. 106-107.

[38]Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 184.

[39]Hunter, "American Evangelicalism", hal. 86-87.

[40]Jon Johnston, "Will Evangelicalism Survive Its Own Popularity?", hal. 35.

[41]Ibid., hal. 206.

[42]Quebedeaux, hal. 199-200.

[43]Eloise Ressich Fraser, "Evangelical Feminism: The Threat of Its Survival", Evangelicalism: Surviving Its Success, diedit oleh David Fraser, hal. 51.

[44]Ibid., hal. 52.

[45]Francis Schaeffer, hal. 137.

[46]Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 103.

[47]Henry, hal. 7.

[48]Donald Bloesch, "Crumbling Foundations: Death and Rebirth in an Age of Upheaval", hal. 21-22.

[49]George Marsden, "Reforming Fundamentalism", hal. 274.

[50]Dikutip di dalam "This We Believe", hal. 76.

[51]Ian Murray, "David Martyn Lloyd-Jones: The Fight of Faith", hal. 650.

[52]Michael Horton, "Made in America", hal. 155.

[53]Ibid., hal. 186.

[54]Robert Pattison, "The Triumph of Vulgarity: Rock Music in the Mirror of Romanticism", hal. 95.

[55]Ibid., hal. 186.

[56]Kenneth A. Myers, "All God's Children and Blue Suede Shoes", hal. 150.

[57]Horton, hal. 162-163.

[58]Jon Johnston, hal. 115.

[59]Carl Henry, "Confessions of a Theologian", hal. 388.

[60]Richard Quebedeaux, "The Worldly Evangelical", hal. 10.

[61]Mark Noll dan David Wells, editor, "Christian Faith and Practice in the Modern World", hal. 13.

[62]"A Conversation with the Young Evangelicals", Post-American, Januari 1975, hal. 10.

[63]Hunter, "American Evangelicalism", hal. 83

[64]Myers, hal. 120.

[65]Clark Pinnock, "From Augustine to Arminius: A Pilgrimage in Theology", The Grace of God, the Will of Man, diedit oleh Clark Pinnock.

[66]C. S. Lewis, "De Descriptions Temporum", They Asked for a paper: Papers and Addresses, hal. 21.

[67]Johnston, hal. 114.

[68]Hunter, hal. 94.

[69]Bloesch, "The Future of Evangelical Christianity", hal. 103.

[70]Hunt dan McMahon, hal. 202.

[71]Ruang tulisan ini tidak akan digunakan untuk menggambarkan permasalahan dalam bidang ini, namun berbagai tulisan tersedia bagi yang tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Contoh karya-karya yang mengungkapkan kesalahan-kesalahan beberapa psikolog Kristen, misalnya John MacArthur, Our Sufficiency in Christ; Martin Bobgan, PsychoHeresy, Prophets of PsychoHeresy I, Prophets of PsychoHeresy II.

[72]Quebedeaux, hal. 14-15.

[73]Francis Schaeffer, hal 119.

[74]Hunter, "Evangelicalism: The Coming Generation", hal. 167.

[75]Ibid., hal. 176.

[76]Ibid., hal. 169.

[77]Marsden, "Understanding Fundamentalism and Evangelicalism," hal. 78-79.

[78]Swindoll, hal. 188.

Tidak ada komentar: