Penerjemah Hasan Karman, MM (sekarang Walikota Singkawang)
Dikatakan bahwa politik adalah "seni kompromi yang tinggi." Mungkin ini benar dalam hal politik pragmatis, tetapi jelas tidak mungkin diterapkan di dalam theologi Kristen. Dahulu sejarah The National Association of Evangelicals (NAE/Persatuan Injili Nasional) menyandang semboyan, Kerjasama Tanpa Kompromi. Walau tidak banyak yang akan membantah ketepatan kata pertama yang digunakan untuk menggambarkan NAE, namun banyak pertanyaan serius akan muncul berkenaan dua kata yang terakhir.
Ada saat-saat kompromi merupakan hal yang bijak dan baik. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, ada saat-saat ketika individu-individu atau kelompok-kelompok harus keluar dari sikap yang lebih ekstrim ke sikap yang lebih moderat. Suami dan isteri kadang-kadang harus saling mengalah. Komisi-komisi yang berusaha memecahkan masalah dan menentukan tujuan harus menerima persyaratan bersama. Orang-orang yang beritikad baik harus belajar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi demi mencapai pemecahan yang dapat diterima bersama. Kompromi seperti ini adalah benar dan baik dan memperluas hubungan yang lebih harmonis antara sesama manusia. Dengan kata lain, tidak semua kompromi itu jahat.
Di lain pihak, ada kebenaran-kebenaran, keyakinan dan sikap-sikap tertentu yang tidak bisa dikompromikan. Martin Luther, ketika ditekan oleh musuh-musuh politis dan gerejawinya dengan tegas menolak untuk mengubah tulisannya dan berkata kepada lawan-lawannya, "Disinilah aku berdiri; Aku tidak bisa berbuat lain." Athanasius, pembela keillahian Kristus yang sempurna dalam menghadapi kaum Arian yang menentangnya, diperingatkan oleh seorang rekannya, "Seluruh dunia menentang engkau." Athanasius menjawab, "Kalau begitu aku akan melawan seluruh dunia." Tidak ada kata kompromi baginya berkenaan dengan masalah yang demikian krusial itu.
Kompromi mengenai masalah-masalah keyakinan Kristen yang vital secara bertahap dapat membuat pribadi, gereja, atau institusi keluar dari pengajaran Firman Allah yang sehat. Injili Baru telah menjadi suara wanita penggoda yang menarik orang keluar dari jalan alkitabiah yang lurus menuju goncangan kehancuran rohani.
W.B. Riley, pemimpin fundamentalis terkemuka dan gembala yang lama melayani di First Baptist Church of Minneapolis, ketika membahas orang Yebus, orang Hewi, orang Amalek, dan berbagai kaum yang lain, memperingatkan bahwa yang paling berbahaya adalah "kaum yang di tengah-tengah." Kelompok ini merupakan orang-orang yang tidak mau memihak dan tetap bersahabat dengan semua pihak. Dr. Bob Jones, Sr., menyamakan mereka dengan orang yang pada masa Perang Saudara (di Amerika) berusaha menyelamatkan jiwanya dengan memakai baju Konfederasi dan celana Union. Kaum Yankee menembak pada baju mereka, sedangkan kaum Pemberontak menembak di bagian celana mereka. Tidak ada kemenangan di dalam kekalahan. Tidak ada pemihakan pada kompromi.
Dalam buku ini, selain tidak ragu-ragu untuk menyebut nama, kami juga mengutamakan pembahasan prinsip. Nama-nama bisa berubah, dan pemimpin datang dan pergi, namun prinsip tetap sama.
Jelas dalam membahas masalah-masalah yang ada di hadapan kita, akan timbul ketidaksepakatan di antara kaum fundamentalis mengenai beberapa hal penafsiran. Namun meskipun ada ketidaksepakatan demikian, kaum fundamentalis sejati harus bersatu dalam bersikap menghadapi pengajaran Injili Baru yang tidak alkitabiah.
Ada yang mempertanyakan kelayakan sikap yang secara terbuka menentang kepercayaan dan praktek para sahabat seiman. Tetapi hal tersebut adalah preseden yang baik. Ketika Petrus, pemimpin besar gereja mula-mula, cacat dalam doktrin dan prakteknya, Rasul Paulus berkata, "... aku berterus-terang menentangnya, sebab ia salah" (Gal. 2: 11). Inilah saatnya untuk menghadapi orang-orang percaya yang sedang menyimpang dari kebenaran. Waktunya adalah sekarang.
Saya sangat berutang kepada isteri saya, Yvonne, karena menghabiskan waktu yang lama untuk menyunting, merevisi, dan mereproduksi naskah akhir buku ini. Dukungannya yang tiada henti merupakan pertolongan besar bagi saya. Penghargaan juga saya sampaikan kepada Ny. Dennis Whitehead, mantan sekretaris saya, yang mengetik draft yang pertama. Putera saya, Lloyd, 'jagoan komputer' dalam keluarga, yang sangat membantu dalam hal-hal teknis. Juga banyak terima kasih kepada staff terlatih di Bob Jones University Press dengan pekerjaan hebat dalam publikasi akhir buku ini.
Dikatakan bahwa politik adalah "seni kompromi yang tinggi." Mungkin ini benar dalam hal politik pragmatis, tetapi jelas tidak mungkin diterapkan di dalam theologi Kristen. Dahulu sejarah The National Association of Evangelicals (NAE/Persatuan Injili Nasional) menyandang semboyan, Kerjasama Tanpa Kompromi. Walau tidak banyak yang akan membantah ketepatan kata pertama yang digunakan untuk menggambarkan NAE, namun banyak pertanyaan serius akan muncul berkenaan dua kata yang terakhir.
Ada saat-saat kompromi merupakan hal yang bijak dan baik. Dalam pergaulan hidup sehari-hari, ada saat-saat ketika individu-individu atau kelompok-kelompok harus keluar dari sikap yang lebih ekstrim ke sikap yang lebih moderat. Suami dan isteri kadang-kadang harus saling mengalah. Komisi-komisi yang berusaha memecahkan masalah dan menentukan tujuan harus menerima persyaratan bersama. Orang-orang yang beritikad baik harus belajar untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi demi mencapai pemecahan yang dapat diterima bersama. Kompromi seperti ini adalah benar dan baik dan memperluas hubungan yang lebih harmonis antara sesama manusia. Dengan kata lain, tidak semua kompromi itu jahat.
Di lain pihak, ada kebenaran-kebenaran, keyakinan dan sikap-sikap tertentu yang tidak bisa dikompromikan. Martin Luther, ketika ditekan oleh musuh-musuh politis dan gerejawinya dengan tegas menolak untuk mengubah tulisannya dan berkata kepada lawan-lawannya, "Disinilah aku berdiri; Aku tidak bisa berbuat lain." Athanasius, pembela keillahian Kristus yang sempurna dalam menghadapi kaum Arian yang menentangnya, diperingatkan oleh seorang rekannya, "Seluruh dunia menentang engkau." Athanasius menjawab, "Kalau begitu aku akan melawan seluruh dunia." Tidak ada kata kompromi baginya berkenaan dengan masalah yang demikian krusial itu.
Kompromi mengenai masalah-masalah keyakinan Kristen yang vital secara bertahap dapat membuat pribadi, gereja, atau institusi keluar dari pengajaran Firman Allah yang sehat. Injili Baru telah menjadi suara wanita penggoda yang menarik orang keluar dari jalan alkitabiah yang lurus menuju goncangan kehancuran rohani.
W.B. Riley, pemimpin fundamentalis terkemuka dan gembala yang lama melayani di First Baptist Church of Minneapolis, ketika membahas orang Yebus, orang Hewi, orang Amalek, dan berbagai kaum yang lain, memperingatkan bahwa yang paling berbahaya adalah "kaum yang di tengah-tengah." Kelompok ini merupakan orang-orang yang tidak mau memihak dan tetap bersahabat dengan semua pihak. Dr. Bob Jones, Sr., menyamakan mereka dengan orang yang pada masa Perang Saudara (di Amerika) berusaha menyelamatkan jiwanya dengan memakai baju Konfederasi dan celana Union. Kaum Yankee menembak pada baju mereka, sedangkan kaum Pemberontak menembak di bagian celana mereka. Tidak ada kemenangan di dalam kekalahan. Tidak ada pemihakan pada kompromi.
Dalam buku ini, selain tidak ragu-ragu untuk menyebut nama, kami juga mengutamakan pembahasan prinsip. Nama-nama bisa berubah, dan pemimpin datang dan pergi, namun prinsip tetap sama.
Jelas dalam membahas masalah-masalah yang ada di hadapan kita, akan timbul ketidaksepakatan di antara kaum fundamentalis mengenai beberapa hal penafsiran. Namun meskipun ada ketidaksepakatan demikian, kaum fundamentalis sejati harus bersatu dalam bersikap menghadapi pengajaran Injili Baru yang tidak alkitabiah.
Ada yang mempertanyakan kelayakan sikap yang secara terbuka menentang kepercayaan dan praktek para sahabat seiman. Tetapi hal tersebut adalah preseden yang baik. Ketika Petrus, pemimpin besar gereja mula-mula, cacat dalam doktrin dan prakteknya, Rasul Paulus berkata, "... aku berterus-terang menentangnya, sebab ia salah" (Gal. 2: 11). Inilah saatnya untuk menghadapi orang-orang percaya yang sedang menyimpang dari kebenaran. Waktunya adalah sekarang.
Saya sangat berutang kepada isteri saya, Yvonne, karena menghabiskan waktu yang lama untuk menyunting, merevisi, dan mereproduksi naskah akhir buku ini. Dukungannya yang tiada henti merupakan pertolongan besar bagi saya. Penghargaan juga saya sampaikan kepada Ny. Dennis Whitehead, mantan sekretaris saya, yang mengetik draft yang pertama. Putera saya, Lloyd, 'jagoan komputer' dalam keluarga, yang sangat membantu dalam hal-hal teknis. Juga banyak terima kasih kepada staff terlatih di Bob Jones University Press dengan pekerjaan hebat dalam publikasi akhir buku ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar