Minggu, 31 Mei 2009

Biografi John G. Paton

Berikut ini adalah Biografi dari seorang misionari, John Paton, diterjemahkan dari Heroes of Faith on Pioneer Trails yang ditulis oleh Myers Harrison. Kiranya kisahnya menjadi
pelajaran berharga bagi kita.

JOHN G. PATON
Utusan Kristus kepada Orang-orang Kanibal di Hibrida Baru

Waktu itu hari Tahun Baru 1861, di pulau Tanna, kepulauan Hibrida Baru. Para misionari telah menghabiskan hari itu membawa obat-obatan, makanan dan air kepada penduduk desa, karena ratusan penduduk terkena penyakit campak yang mematikan. Banyak dari mereka yang mengambil obat-obat itu dan mengikuti instruksi dan kemudian sembuh, namun banyak orang lebih suka mencoba eksperimen mereka sendiri. Puluhan orang, yang tersiksa dengan rasa terbakar dan panas, meloncat ke dalam laut mencari kelegaan dan mati dengan segera. Yang lainnya menggali lobang di tanah, sepanjang tubuh mereka dan beberapa kaki dalamnya, dan berbaring di dalam sana, karena tanah yang dingin membuat mereka merasa nyaman. Dalam usaha yang sia-sia ini ratusan orang meninggal, di dalam kubur yang mereka gali sendiri, dan langsung dikuburkan di tempat mereka berbaring.

Pada sore hari, para misionari berlutut di rumah misi dan berdoa mengabdikan seluruh hidup mereka kepada Kristus dan juga untuk keselamatan para kanibal yang tinggal dekat mereka. Mereka dengan sepenuh hati mempercayakan keamanan diri mereka sendiri pada perlindungan Alah, tidak tahu bahwa bahkan pada saat itu juga, rumah itu sedang dikepung oleh para kanibal yang kejam, bersenjatakan pentung, batu tajam dan senapan angin, berketetapan untuk membunuh dan memakan para pendatang, yang memiliki Allah, yang menurut mereka, telah mendatangkan penyakit, topan, dan berbagai kesusahan lainnya atas mereka.

Setelah selesai berdoa, seorang misionari yang muda melangkah keluar dari pintu untuk menuju rumahnya sendiri dekat situ. Dengan cepat dia dipukul dan jatuh ke tanah sambil berteriak, "Awas! Mereka mencoba membunuh kita!"

Misionari yang lebih tua berlari menuju pintu dan berseru kepada orang kanibal itu, "Allah Yehova melihat kalian dan akan menghukum kalian karena mencoba untuk membunuh hamba-Nya." Dua orang hitam mengayunkan tongkat mereka yang berat kepadanya, namun tidak kena, dan karenanya seluruh gerombolan itu melarikan diri menuju semak-semak.

Orang berkulit putih yang lebih muda sedemikian kagetnya, sehingga beberapa hari ini dia tidak dapat tidur. Bahkan, susunan sarafnya terganggu karena peristiwa pemukulan itu, dia selalu membayangkan ketakutan akan dibunuh dan dimakan oleh para kanibal itu, dan tiga minggu kemudian dia meninggal. Misionari yang lebih tua telah sering mengalami serangan seperti itu selama hidupnya dan masih akan hidup melewati lebih banyak lagi. John G. Paton–itulah namanya–menemukan bahwa penyertaan Allah adalah obat penawar ketakutannya dan jaminan bahwa nyawanya abadi hingga pekerjaannya selesai. "Selama krisis itu," ia tulis dalam biografinya, "saya merasakan ketenangan dan kekuatan jiwa, berdiri tegak dan seluruh diri saya bertumpu pada janji, `Ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.' Janji yang tak ternilai! Betapa saya mengasihi Yesus karena janji ini dan bersukacita di dalamnya! Terpujilah nama-Nya!"

Janji yang murni! Rahasia jiwa yang tenang! Rahasia hati yang penuh sukacita! Janji yang dapat diandalkan! Janji yang dapat menanggung seluruh beban seseorang! "Aku menyertai kamu senantiasa ."

Matius 28:20 adalah kata-kata terus bernyanyi, terus mengiang dalam setiap peristiwa yang berubah-ubah, setiap pengujian yang bertubi-tubi dan setiap pencapaian yang monumental dari John G. Paton. Mengenai nats ini, David Livingstone pernah mengatakan: "Ini adalah janji dari seorang Pribadi yang terhormat dan kata-katanya adalah titik." Ini adalah teks yang membuat sejarah karena nats ini berbicara mengenai Hadirat yang membuahkan pekerjaan yang ajaib dan tidak pernah gagal.

AYAT PEGANGAN JOHN G. PATON BERBICARA MENGENAI HADIRAT YANG MENGGUBAHKAN

John G. Paton lahir di sebuah peternakan dekat Dumfries, Skotlandia, pada tanggal 24 Mei 1824. Dia adalah anak sulung dari 11 bersaudara. Setelah belajar singkat pendidikan dasar dia mempersiapkan diri untuk belajar bisnis ayahnya dalam memproduksi kaos kaki. Selama 14 jam sehari ia bekerja di bengkel ayahnya dan sisa 2 jam yang seharusnya waktu makan, kebanyakan ia habiskan untuk belajar.

John pertama kali mempelajari indahnya dan ajaibnya Matius 28:20 di tengah-tengah kesederhanaan dan kesucian rumahnya di Skotlandia. Dengan kata-kata yang luar biasa indah, dia pernah mendeskripsikan ayahnya, James Paton, sebagai seorang laki-laki yang saleh, yang pergi tiga kali sehari ke `kamar doa' dan keluar dengan wajah yang bersinar seperti salah satu dari mereka yang berada di gunung dimana Yesus dimuliakan. "Dunia luar mungkin tidak mengetahui, tetapi kita sebagai anak-anaknya mengetahui dari mana datang terang yang bahagia itu yang selalu merekah dari wajah ayahku: itu adalah cerminan dari Hadirat Ilahi di dalam kesadaran yang dia hidupi," katanya.

Enam puluh tahun kemudian, putranya memberikan penghargaan yang mengesankan kepada kekuatan doa ayahnya:

"Tidak pernah, di dalam gereja, di atas gunung atau di dalam lembah, saya dapat berharap untuk merasakan bahwa Tuhan Allah lebih dekat, lebih secara nyata berjalan dan berbicara kepada manusia, selain di bawah rumah yang atapnya terbuat dari jerami dan anyaman pohon oak tersebut. Meskipun segala sesuatu yang lain di dalam kepercayaan saya dapat terhapus dari ingatan oleh musibah yang tidak terbayangkan atau terhapus dari pengertian saya, jiwa saya akan menggembara ke masa lampau dan menutup dirinya sekali lagi di kamar doa itu, dan masih mendengar gaungan dari seruan-seruan ayahku kepada Allah, dan itu akan membuang seluruh keraguan dengan seruan penuh kemenangan. `Dia dapat berjalan dengan Allah, mengapa saya tidak?'"

Pendoa ini membayangkan dirinya bagaikan imam di keluarganya, yang urusan utamanya adalah untuk hidup di dalam kemuliaan dan untuk memimpin anak-anaknya kepada Hadirat Ilahi sebagai realitas yang sanggup mengubah seseorang. Bahwa anak-anak Paton menerima penuh warisan suci ini dapat dilihat dari perkataan John: "Ketika ayah saya berlutut dan semua dari kami berlutut mengelilingi dia di dalam ibadah keluarga, dia menuangkan seluruh jiwanya dengan air mata untuk pertobatan bangsa-bangsa yang tidak mengenal Allah supaya mereka dapat menlayani pelayanan Yesus, dan untuk setiap kebutuhan masing-masing pribadi dan keluarga, kami semua merasakan bahwa kami berada di dalam Hadirat Juru Selamat yang hidup, belajar mengenal dan mengasihi Dia sebagai Sahabat Ilahi kami. Ketika kami bangkit dari lutut kami, saya biasa memandang cahaya di wajah ayah saya dan berharap saya akan seperti dia di dalam roh."

Cahaya di wajah sang ayah: pandangan yang mengubah!

Untuk mengenal dan mengasihi Dia: Itu adalah hidup yang berubah!

Kehadiran dari Juru Selamat yang hidup: Tuhan yang telah dimuliakan!

Bukan para pelayan Tuhan atau penginjil atau Guru Sekolah Minggu yang memimpin John G. Paton kepada pertobatan, tetapi ayahnya sendiri. Setelah melihat nats Matius 28:20 dinyatakan melalui keagungan karakter ayahnya dan setelah merasakan sendiri nikmatnya yang tiada tara, ia terjun ke dalam sebuah pekerjaan yang akan menguji ketepatan dari janji `Aku menyertai kamu senantiasa' membuka matanya akan keagungan dari Matius 28:20.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENUNTUN

Sebagai seorang muda, John mendengar suara Tuhannya berkata, "Seberangilah lautan sebagai pembawa berita kasihku; dan lihatlah Aku menyertai engkau." Kristus sedang memimpinnya kepada pekerjaan dan latihan dengan cakupan yang lebih luas dan ia memutuskan untuk ikut. Sulit untuk meninggalkan rumahnya yang menyenangkan tetapi akhirnya hari perpisahan tiba. Jarak ke Kilmarnock sekitar 40 mil, di mana ia akan naik kereta menuju Glasgow. Perjalanan ke Kilmarnock hanya bisa ditempuh jalan kaki karena ia tidak sanggup membiayai perjalanan menggunakan kereta kuda. Semua miliknya dibundel jadi satu di dalam sebuah sapu tangan yang besar, tapi dia tidak berpikir dirinya adalah orang miskin, karena Alkitabnya dan Tuhannya besertanya.

Ayahnya berjalan bersamanya sejauh 6 mil dari rumah. Nasihat-nasihat dan air mata dan percakapan dengan ayahnya dalam perjalanan perpisahan itu tidak pernah dilupakan oleh sang putra. Di suatu ketika dalam perjalanan, mereka berdua terdiam. Ayahnya memegang topi di tangannya dan rambut pirangnya terurai di atas bahunya sementara tetesan air mata bercucuran dan doa-doa dipanjatkan dalam hati. Setelah tiba di tempat perpisahan, mereka saling berjabat tangan dan sang ayah berkata dengan penuh perasaan, "God bless you, my son! Allah ayahmu membuat engkau berhasil dan menjagamu dari semua kejahatan!" Ayahnya sudah tidak sanggup berkata-kata lagi, bibirnya tetap bergerak dan berdoa di dalam hatinya; dengan penuh tetesan air mata, mereka berpelukan dan berpisah.

John menyelusuri jalan melewati sebuah belokan, mendaki sebuah tanggul untuk mendapatkan pandangan terakhir dan ternyata ia melihat ayah yang juga mendaki sebuah tanggul, berharap sekali lagi dapat melihat putranya. Orang tua itu mencari dengan sia-sia, karena matanya telah buram, kemudian ia turun dan mulai pulang ke rumah, pikirannya masih kosong dan hatinya menaikkan permohonan yang tulus. "Saya melihat dengan penuh air mata sampai ayah tidak terlihat lagi; dan kemudian, saya buru-buru melanjutkan perjalanan, berjanji dengan sungguh-sungguh, dengan pertolongan Allah, untuk hidup dan berlaku agar tidak mendukakan dan tetap menghormati ayah dan ibu yang telah Allah berikan kepada saya. Di masa-masa pengujian yang sulit pada tahun-tahun berikutnya, wujud sang ayah muncul di hadapan John dan bertindak sebagai malaikat penjaga," kata sang putra di buku Autobiografi-nya.

Pada tahun-tahun berikutnya, ia sangat sibuk menyebarkan traktat-traktat, mengajar di sekolah, dan bekerja sebagai misionari di salah satu bagian kota Glasgow. Dia menyadari bahwa perjalanan menyeberangi samudra tidak akan, seperti sulap, merubah dia menjadi seorang misionari, dan menjadi misionari, di atas semua yang lainnya, berarti menjadi seorang pemenang jiwa, sebab itu dia terus menerus berusaha memenangkan orang-orang yang terhilang di sekitarnya.

Salah satu orang yang ia coba selamatkan adalah seorang dokter yang adalah seorang pemabuk dan kafir. Setelah menjalin persahabatan dengan dokter itu, ia meminta dokter itu untuk berlutut dan berdoa pada suatu hari. Dokter itu menjawab, "Saya terkutuk, saya tidak dapat berdoa. Biarkan saya berdiri dan saya akan mengutuki Allah di depan muka-Nya." Pada akhirnya orang kafir yang jahat itu bertobat dan menghidupi kehidupan Kristen yang bersinar.

Sementara mengejar studi theologi dan medisnya, Paton muda tetap mendengar tangisan orang-orang tak percaya di Lautan Selatan yang akan binasa. Selama 2 tahun, gereja di mana ia menjadi anggota jemaatnya, Gereja Reform Presbiterian Skotlandia, sedang mencari seorang misionari untuk pergi ke kepulauan Hibrida Baru untuk bergabung dengan Rev. John English dalam pekerjaannya di daerah yang parah itu. Ketika Paton menawarkan dirinya untuk pelayanan ini, Dr. Bates, sekretaris dari Heathen Mission Committe, bersorak kegirangan.

Hampir setiap orang berpikir bahwa sangat bodoh bagi seorang anak muda yang menjanjikan untuk pergi dan tinggal bersama penduduk asli dari Pulau-pulau Pasifik Selatan yang kejam dan tidak memiliki peradaban. Satu orang tua berseru, "Orang-orang kanibal! Kamu akan dimakan oleh orang-orang kanibal!"

"Tn. Dixon, kamu sudah tua sekarang dan engkau sendiri segera terbaring dalam kubur, dimakan oleh ulat-ulat. Saya mengaku kepadamu jika saya dapat, saya ingin hidup dan mati melayani dan menghormati Tuhan Yesus, tidak menjadi masalah bagi saya apakah tubuh saya akan dimakan oleh kanibal atau ulat," jawab misionari muda yang ditunjuk.

Pada tanggal 16 April 1859, John G. Paton, ditemani oleh istrinya dan oleh Tn. Joseph Copeland, mengucapkan selamat tinggal kepada Skotlandia dan berlayar menuju Laut Pasifik Selatan. Di dalam hatinya sebuah lagu terus menerus berkumandang dan bunyi reff lagu itu adalah `Lo, I am with you all the way' "Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa."

"Aku menyerahkan masa depanku kepada Tuhan Allah ayahku, yakin di dalam lubuk hati saya, saya ingin melayani Dia dan mengikuti Juru Selamat." katanya.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENGUATKAN

Setelah singgah di pulai Aneityum, di mana usaha misi sepertinya sudah ada sedikit hasil, orang Skotlandia muda itu mendarat beserta istrinya di Tanna, 5 November 1858, dan mulai membangun sebuah rumah di Pelabuhan Resolution. Pada hari-hari itu, pulau itu murni kanibalistik, dan iman sang orang kulit putih pada ayat hidupnya segera dicobai dengan hebat. Dia dan Nyonya Paton dikelilingi orang-orang biadab yang berlumuran cat, yang terperangkap dalam tahayul dan kekejaman yang selalu menyertai penyembahan berhala. Para lelaki dan anak-anak berjalan dalam kondisi telanjang sementara para wanita memakai cawat dari rumput atau daun yang sangat minim. Segera setelah mendarat, mereka melihat puluhan orang bersenjata melewati mereka dengan bersemangat, dengan bulu-bulu di rambut mereka yang kusut dan muka mereka dicat secara mengerikan. Suara senapan meletus di semak-semak dekat mereka dan teriakan para biadab mengisyaratkan bahwa orang-orang itu sedang ada dalam pertempuran sengit. Hari berikutnya, sang misionari diberitahu bahwa lima orang telah terbunuh, dimasak, dan dimakan oleh pihak yang menang. Pada sore harinya, keheningan terpecahkan oleh raungan liar dan panjang yang kedengaran tidak manusiawi. Paton diberitahu bahwa salah satu dari orang yang terluka, yang baru pulang dari pertempuran, baru saja mati, dan mereka telah mencekik jandanya supaya rohnya dapat menemani prajurit itu ke dunia berikutnya dan menjadi pelayannya di situ, sama seperti dia menjadi pelayannya di sini. Nasib wanita di Kepulauan Hebrida Baru (New Hebrides) sungguh buruk. Wanita tidak lebih dari budaknya lelaki. Dia yang melakukan semua pekerjaan kasar, sementara sang lelaki menganggap bertempur adalah bisnis utamana. Jika sang wanita menyinggung suaminya dengan cara apapun, ia akan memukulinya sebanyak yang ia inginkan, dan tidak ada yang akan berpikir untuk melerai. Sangat sedikit sekali rasa kekeluargaan di antara mereka, dan karenanya, orang-orang tua yang tidak dapat bekerja dibiarkan mati kelaparan atau bahkan dibunuh.

Warga Tanna memiliki begitu banyak patung dan jimat, yang sangat mereka takuit. Sungguh, penyembahan mereka adalah penyembahan ketakutan, yang intinya adalah untuk mendapatkan belas kasih roh jahat tertentu, atau untuk mencegah bencana atau mendatangkan pembalasan atas musuh tertentu. Mereka juag sering memberikan hadiah bagi orang suci, penyihir, atau nenek sihir mereka, yang mereka percaya dapat menghilangkan penyakit atau mendatangkan penyakit melalui Nahak atau mantra.

Dalam pertempuran suatu hari, tujuh orang terbunuh, dan janda mereka dicekik, dan semua dimasak dan dimakan oleh para prajurit dan teman-teman mereka. Ketika kepala suku Nouka sakit keras, tiga orang wanita dikorbankan agar ia sembuh.

Hati para misi dipenuhi horor dan rasa kasihan, dan mereka hampir putus asa, Paton menulis: "Apakah saya telah meninggalkan pekerjaan saya yang sangat saya cintai, juga teman-teman saya di Glasgow, dengan segala hal yang menyenangkan, hanya untuk membaktikan hidup saya bagi makhluk-makhluk hina ini? Apakah mungkin untuk mengajari mereka benar dan salah, untuk mengkristenkan mereka, atau membuat mereka beradab?" Namun, ia segera diingatkan bahwa ia tidak mengambil tugas ini oleh karena dirinya sendiri dan bahwa ia memiliki di tangannya sumber daya yang cukup untuk menyelesaikan tugas besar ini. "Kami sadar," dia meneruskan, " bahwa Tuhan Yesus kami selalu dekat dengan kami dan melaluiNya kami menjadi kuat untuk tugas apapun yang telah Ia berikan atau akan Ia berikan."

Diberi kuasa dan keberanian yang sedemikian, ia mulai memberitahu para pribumi pulau tentang kebejatan mereka, dan menunjukkan pada mereka Domba Allah yang dapat menyelamatkan dari dosa dan dengan segala upaya berusaha memperlihatkan kepada mereka perbedaan antara kebejatan mereka dan hidup Kristiani. Kapan saja ada dua pihak yang hendak berperang, ia akan berlari ke tengah mereka dan berteriak agar mereka mundur. Bagaimanakah ia dapat menghadapi bahaya yang demikian di hadapan para biadab yang gila kebencian dan berteriak untuk darah? Mari kita lihat jawabannya sendiri: "Imanku memampukan saya untuk menggenggam dan merealisasikan janji itu, `Lihatlah, aku menyertai kamu senantiasa.' Dalam Yesus saya merasa tidak dapat disakiti. Saat-saat itu adalah saat saya merasakan Juruselamat saya paling dekat, mengilhami dan menguatkan saya."

Iman yang memampukan!

Dukungan yang membuat tidak dapat disakiti!

Janji yang pasti!

Kehadiran yang menguatkan!

"Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa, sampai kepada akhir zaman."

Suatu hari, saat fajar, Paton bangun dan menemukan bahwa rumahnya telah dikelilingi oleh orang-orang bersenjata, yang bergumam dengan bengis bahwa mereka datang untuk membunuh dia saat itu juga. Karena mereka tidak pandai berkata-kata, para warga Tanna itu menunggu hingga seorang kepala suku datang dan memberikan pidato berikut: "Missi, kami mencintai cara kami jalan bapa leluhur kami. Kami telah membunuh para pengajar dari Aneityum dan membakar rumah mereka. Kini kami telah memutuskan untuk membunuhmu, karena kamu sedang mengubah adat istiadat kami dan kami membenci penyembahan Yehova.

"Karena saya sepenuhnya ada dalam tangan mereka," kata Paton, "saya berlutut dan menyerahkan tubuh dan jiwa saya kepada Tuhan Yesus, sepertinya untuk terakhir kalinya di bumi ini." Para biadab secara mengherankan menjadi sunyi, memperhatikan dia, sambil dia berdiri dan menceritakan kasih sang Juruselamat yang besar, dan mereka pergi, sambil bergumam bahwa dia pasti akan dibunuh kalau dia tidak meninggalkan pulau itu segera.

Beberapa hari berikutnya, sekelompok besar biadab berkumpul, dan salah satunya menyerang Paton dengan membabi buta menggunakan kapak dan berusaha membunuh dia. Keesokan harinya, seorang kepala suku yang bermuka garang mengikuti dia selama empat jam, dan sering membidikkan senapan anginnya pada Paton seolah-olah akan menembak. Sambil berdoa dalam hati, sang misionari meneruskan pekerjaannya. Apakah rahasianya hati yang sedemikian berani? Adalah ayat itu dan hadirat itu. Ia memberitahu kita:

"Kehidupan dalam kondisi seperti ini membuat saya berpegang erat pada Tuhan Yesus. Dengan tangan yang gemetar saya memegang tangan yang pernah dipakukan di Kalvari, yang kini memegang tongkat kerajaan alam semesta ini, dan ketenangan serta damai memasuki jiwaku. Pencobaan dan keluputan yang nyaris-nyaris semuanya telah membuat imanku kuat dan seolah mempersiapkan saya untuk lebih banyak lagi pencobaan. Tanpa kesadaran yang terus menerus akan hadirat dan kuasa Tuhan dan Juruselamatku, tidak ada apapun di dunia ini yang dapat memelihar saya dari kegilaan dan kematian. Kata-katanya, `Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa, bahkan sampai ke ujung bumi,' telah menjadi sangat riil bagiku, dan saya merasakan kuasanya yang mendukung saya. Saya mendapatkan kilasan yang paling bernilai dan berharga akan wajah dan senyum Tuhanku justru pada saat-saat mengerikan ketika senapan, atau pentung, atau tombah sedang dibidikkan atas nyawaku."

Demikianlah, melalui pencobaan yang penuh api, sang misionari belajar akan Allah yang dapat dipercaya, dan kuasa kata-kata emas itu, "Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa."


AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENGHIBUR

Di tengah-tengah begitu banyak pengalaman yang menakutkan dan berbahaya, Paton terlihat kesepian, namun kesedihan yang paling menyedihkan akan segera datang. Ketika dia dan istrinya berlabuh di Tanna, keduanya dalam keadaan sehat dan penuh antusias, sebagaimana mereka mengharapkan hidup yang bahagia bersama-sama sambil memperjuangkan keselamatan dari saudara-saudara mereka yang rusak akhlaknya. Tiga bulan kemudian seorang putra lahir bagi mereka. Dan pulau tempat di mana mereka mengasingkan diri penuh sukacita. Tetapi kegembiraan itu segera pudar karena demam tropis membawa kematian, dan misionari yang tertimpa kedukaan itu harus menggali kuburan untuk istrinya yang muda dan putranya yang masih bayi dengan tangannya sendiri. "Biarlah mereka yang pernah melalui kegelapan serupa seperti di tengah-tengah malam turut bersimpati dengan saya. Saya terpana dan logika saya nampaknya sudah hampir hilang. Saya membangun sebuah tembok karang sekitar kubur dan menutupi bagian atasnya dengan karang-karang putih yang indah, yang dipecahkan kecil-kecil menjadi seperti kerikil; tempat itu menjadi tugu saya yang suci dan seringkali saya kunjungi sepanjang tahun, sambil di tengah-tengah kesulitan, bahaya-bahaya dan kematian-kematian, saya bekerja untuk keselamatan dari penduduk pulau yang biadab ini," katanya.
Dua dari ksatria-ksatria salib yang paling mulia–David Livingstone dan John G. Paton–mempunyai banyak persamaan. Dua-duanya berasal dari Skotlandia. Dua-duanya pergi sebagai misionari. Dua-duanya menghadapi kematian yang tidak terhitung dan bertahan dengan sabar terhadap kesulitan-kesulitan yang tidak dapat dideskripsikan di dalam pengejaran misi mereka. Masing-masing dari mereka memiliki seorang istri bernama Mary dan mereka yang menguburkannya dengan tangannya sendiri, di kuburan yang asing. Dan keduanya menemukan kekuatan mereka dan penghiburan dalam teks yang sama yaitu Matius 28:20.

"Jangan tinggalkan aku, Tuhanku, di dalam waktu-waktu kesedihan," seru Livingstone di samping kuburan yang baru dibuatnya di bawah pohon Baobab di Shupanga.

"Saya tidak pernah sama sekali ditinggalkan," kata Paton tentang saat-saat Getsemaninya. "Tuhan yang Pengampun menopang saya untuk membaringkan debu yang berharga dari orang-orang yang saya kasihi dalam kuburan yang sama yang tenang. Kalau bukan Yesus, dan persekutuan yang Ia berikan kepada saya di sana, saya pasti telah jadi gila dan meninggal di samping kubur yang sepi itu!" Beberapa minggu setelahnya, George Augustus Selwyn, Penilik (Bishop) pertama di Islandia baru, dan James Coleridge Patteson, Penilik dari Melanesia yang belakangan akan mati martir, mempunyai kesempatan untuk mengunjungi pulau itu. Di sana telah terjadi sebuah peristiwa yang pasti membuat surga dan bumi meneteskan air mata. "Berdiri bersama dengan aku di samping kubur seorang ibu dan anak," kata Paton, "saya menangis dengan keras di sebelah kanannya, dan Patteson menangis sesengukan di sebelah kirinya, sementara Penilik Selwyn yang baik menuangkan isi hatinya kepada Allah di tengah-tengah tangisan dan air mata, ketika ia meletakkan tangannya di atas kepalaku dan memohon penghiburan terkaya dari sorga dan berkat atas diriku dan jerih payahku."

"Tidak pernah sama sekali ditinggalkan!" – Hadirat yang tidak pernah gagal.

"Tuhan menopang saya!" – Hadirat yang menopang.

"Kalau bukan karena Yesus, saya pasti telah menjadi gila!" - Hadirat yang memberikan kekuatan.

"Penghiburan terkaya dari sorga!" - Hadirat yang menghiburkan.

"Aku besertamu senantiasa, bahkan sampai ke ujung dunia."


Di dalam kebutuhannya yang amat sangat, misionaris itu menyandarkan seluruh bebannya atas nats tersebut, dan penghiburan dari sorga menyertai jalannya.

Walaupun dengan sakit yang pedih sekali dalam hatinya dan keputusasaan di sekeliling, Paton melanjutkan tugasnya, mendeklarasikan kekayaan kasih Kristus saat dia pergi dari desa ke desa. Dia juga mengalihkan perhatiannya pada proyek memproduksi dan menerjemahkan, setelah menciptakan bentuk tertulis dari bahasa penduduk setempat. Dia memiliki sebuah mesin cetak yang kecil, sehingga ketika dia selesai menerjemahkan sebagian kitab Perjanjian Baru ke dalam bahasa Tanessa, dia memulai pekerjaan yang sulit, yaitu menyiapkannya untuk dicetak. Akhirnya lembar pertama keluar dari mesin pencetak–pasal pertama dari Firman Allah yang pernah tercetak dalam bahasa Tannesa! Walaupun saat itu sudah jam 1 subuh, dia berseru kegirangan.

Pada tahun 1862 sebuah krisis baru muncul. Hiruk pikuk ratusan penduduk asli menyumpahi kematian misionari tanpa penundaan. Nowar, seorang kepala suku yang bersahabat, menyarankannya untuk melarikan diri ke dalam semak-semak di bawah kegelapan dan bersembunyi di sana bawah cabang pohon chestnut yang besar dan rindang. Dari tempat persembunyian itu dia melihat dan mendengar orang-orang hitam memukuli semak-semak dengan semangat untuk menemukan dia. Mengenai pengalaman yang menakutkan pada malam itu, Paton menuliskan: "Saya banyak kali mendengar suara tembakan senapan musket dan teriakan dari orang-orang biadab itu. Saya duduk di sana di atas salah satu cabang pohon, aman dalam tangan Yesus! Tidak pernah, dalam seluruh penderitaan saya, Tuhanku terasa lebih dekat pada saya selain saat itudan Dia berbicara kepada jiwa saya. Sendiri, namun tidak sendiri! Andai saja saya tidak mengenal Yesus dan doa, akal budi saya tentunya sudah pasti hancur, namun sebaliknya, kenyamanan dan sukacita muncul dari janji, "Aku menyertaimu senantiasa."

Paton mengakhiri cerita tentang insiden itu dengan memberikan sebuah pertanyaan yang harus direnungkan setiap hati dengan keseriusan penuh: "Jika anda sendirian, sangat sendirian, dalam kesunyian di tengah malam, di atas cabang pohon, pada ambang kematian itu sendiri, apakah anda memiliki seorang Teman yang tidak akan membiarkan anda?"

John G. Paton memiliki seorang Teman dan dalam Hadirat-Nya ada penghiburan yang melimpah sesuai kebutuhannya.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENJAMIN

Sebagaimana dinyatakan di atas, orang-orang biadab dari Aneityum telah menerima Kekristenan dengan kerelaan dan ketulusan. Bahkan, banyak dari mereka telah pergi ke pulau-pulau lain dan banyak menderita untuk Kristus dan injil- bahkan hingga martir, dalam sejumlah contoh. Beberapa dari orang Kristen Aneityum menolong Paton dalam usahanya untuk menginjili orang Tannese.

Suatu hari ia menerima informasi bahwa ia dan guru-guru Aneityumnya dipersiapkan untuk menjadi korban untuk perayaan yang dipersiapkan oleh orang-orang pribumi. Mereka melihat keluar jendela dan melihat sekelompok besar pembunuh-pembunuh bersenjata mendekat. Mengetahui bahwa mereka tidak dapat terjangkau oleh pengharapan manusia, mereka berdoa. Selama banyak jam mereka mendengar orang-orang biadab itu berderap di sekeliling rumah, mengancam untuk masuk atau membakar tempat itu. Ketika mereka berdoa, hati mereka ditenangkan dengan jaminan bahwa Dia yang ada untuk mereka lebih besar dari semua musuh-musuh mereka. Paton berkata: "Keamanan kami bergantung dalam permohonan kami kepada Tuhan yang mulia yang telah menempatkan kami di sana, yang kepada-Nya telah diberikan seluruh kuasa baik di surga maupun di bumi. Inilah kekuatan, inilah kedamaian–mempunyai persekutuan yang manis bersama-Nya. Saya tidak dapat mengharapkan sesuatu yang lebih berharga untuk para pembaca selain hal itu."

Pemberita salib yang gigih itu sedang memikirkan Matius 28:18-20 dan Hadirat yang menjaminkan itu memberikan informasi kepadanya: "Segala kuasa baik di surga dan di bumi diberikan kepada-Ku. Oleh karena itu, pergilah kalian ... dan Aku bersamamu."

Tangan yang menenangkan misionari itu menahan musuh, dan pada akhirnya para pembunuh itu pergi tanpa menyelesaikan tujuan mereka.
Paton menyimpan beberapa kambing sebagai sumber persediaan susu. Suatu hari dia mendengar embikan yang janggal di antara para kambing, seolah-olah mereka sedang dibunuh atau disiksa. Ia bergegas ke kandang kambing. Tiba-tiba sekelompok orang bersenjata muncul dari semak-semak, mengelilingi dia dan menaikkan pentungan mereka. Dia telah masuk ke dalam perangkap mereka! "Kamu telah melarikan diri banyak kali," kata mereka, "tetapi kami sekarang akan membunuhmu!" Kemudian dia menaikkan tangan dan matanya ke arah surga, Paton menyerahkan hidupnya kepada Tuhan yang ia layani. Ketika dia berdoa, Hadirat Ilahi menaunginya, hatinya dipenuhi oleh jaminan yang lembut dan kanibal-kanibal itu pergi satu per satu. "Sesungguhnya Yesus menahan mereka sekali lagi" tegas sang misionari. "Janjinya adalah sebuah realitas; Dia ada bersama dengan pelayan-pelayan-Nya untuk mendukung dan memberkati mereka, bahkan sampai ke ujung dunia!"

Janji yang selalu di bibirnya!

Hadirat yang selalu di hatinya!

Janji yang memegangnya!

Hadirat yang menjaminnya!

Aku besertamu senantiasa!

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MELINDUNGI

Pada suatu ketika, saat Paton sedang berkhotbah di salah satu desa, tiga orang penyihir berdiri dan mengumumkan bahwa mereka dapat membunuhnya dengan Nahak (sejenis ilmu sihir), jika saja mereka dapat memperoleh sisa buah atau makanan yang dimakan oleh Paton. Ditantang sedemikian rupa, maka ia meneguhkan hati, dengan bantuan Tuhan, untuk melancarkan pukulan terhadap kuasa kegelapan yang besar yang dimiliki oleh para penyihir tersebut. Setelah menggigit tiga buah plum, ia memberikan satu plum ke masing-masing penyihir. Pada penduduk asli sangat kaget akan tindakannya dan mengantisipasi bahwa dia sebentar lagi akan jatuh tergeletak ketika para penyihir memulai mantra-mantra mereka. Dengan banyak gerakan dan erangan, mereka membungkus ketiga buah plum itu ke dalam daun dan membuat api "suci" dan membakar buah-buah itu. "Cobalah buat dewamu membantumu," Paton memberi semangat. "Saya tidak terbunuh. Bahkan, saya sehat walafiat."

Setelah sekian lama, para penyihir mengatakan bahwa mereka akan memanggil seluruh penyihir yang ada dan mereka akan membunuh Missi (nama sebutan Paton, singkatan dari "misionari") sebelum hari Sabat berikutnya tiba. Paton memberitahu rakyat bahwa ia akan menemui mereka pada tempat yang sama Sabtu pagi berikutnya. Keseruan yang besar melanda pulau itu. Setiap hari, pembawa berita dari berbagai pelosok datang dan menanyakan apakah orang putih itu sakit. Pada Sabtu pagi, ia muncul di hadapan rakyat dalam keadaan sehat, dan berkata, "Kini kalian harus mengakui bahwa dewa kalian tidak memiliki kuasa atas diriku dan saya dilindungi oleh Allah yang benar dan hidup. Ia adalah satu-satunya Allah yang dapat mendengar dan menjawab doa. Ia mengasihi umat manusia, walaupun manusia begitu jahat, dan Ia mengutus AnakNya yang terkasih, Yesus, untuk menyelamatkan semua yang percaya dan mengikuti Dia dari dosa." Mulai dari hari itu, dua penyihir menjadi bersahabat dengan dia, tetapi yang lainnya tetap menjadi musuh bebuyutannya dan menghasut orang-orang pribumi untuk semakin memusuhinya.

Sekitar waktu itu, beberapa kejadian yang berdarah mencuat di pulau Erromanga. Pada tahun 1839, John Williams, dan teman sekerjanya yang muda, Harris, dipukuli hingga mati dan dimakan oleh penduduk Erromanga. Namun setelah beberapa waktu, mereka digantikan oleh misionari lain yang gagah berani. Kini, setelah empat tahun penuh pengabdian, Tuan dan Nyonya Gordon dipukuli dan dibunuh.

Ketika para penduduk Tannessa mendengar kejahatan tersebut, mereka berteriak seorang kepada yang lain: "Kami salut dan kasih pada orang-orang Erromanga! Mereka orang-orang berani. Mereka membunuh Missi mereka dan istrinya, sedangkan kita hanya bisa berbicara saja."

Karena seringnya mereka diserang dan diancam nyawanya, dan juga pembunuhan salah seorang dari mereka, semua guru-guru Injil dari Aneityum, kecuali Abraham, pulang ke pulau mereka sendiri. Abraham ini, yang dulunya seorang biadab yang haus darah, adalah seorang pahlawan salib yang sejati. Menghadapi kematian yang hampir pasti, ia bersikukuh untuk tinggal bersama misionari di tempat tugas dan bahaya. Sementara ratusan kanibal yang marah menyerukan kematian mereka, keduanya berlutut dalam doa. "O Tuhan," Abraham berdoa, "buatlah kami berdua kuat bagi-Mu dan pekerjaan-Mu, dan jika mereka membunuh kami, biarlah kami mati berdua dalam pekerjaan-Mu yang baik, seperti hamba-Mu, Missi Gordon dan istrinya."

Para biadab mengelilingi mereka dalam lingkaran maut dan menyemangati satu sama lain untuk menghantamkan pukulan pertama atau menembakkan tembakan pertama. Akhitnya, sebuah batu perang, yang dilemparkan dengan kekuatan yang besar, menyerempet pipi Abraham. Santo tua yang manis itu mengalihkan pandangannya pada langit dan berkata, "Missi, saya hampir pergi pada Yesus."

"Di saat yang mengerikan itu," tulis Paton, "Saya melihat kata-kata Kristus sendiri, seperti huruf-huruf yang terukir dari api di awan-awan di langit: `Dan apa pun juga yang kamu minta dalam namaKu, Aku akan melakukannya, supaya Bapa dipermuliakan dalam Anak.'" (Yoh. 14:13) Ketika ia sedang berdiri berdoa, ia bagaikan melihat Tuhan Yesus mengambang di dekatnya, memperhatikan pemandangan yang terjadi, dan suatu jaminan datang padanya, bagaikan jika ada suara dari surga, bahwa tidak ada satu senapanpun akan ditembakkan, tidak ada satu pentungan akan memukul, tidak satu pun tombak akan meninggalkan tangan yang telah bergetar untuk melemparnya, tidak satu anak panah akan lepas dari panahnya, atau satu batu pun terlontar dari jari-jari, tanpa izin dari Yesus Kristus, yang memerintah atas seluruh alam semesta dan yang menahan bahkan para biadab di Laut Selatan. Bagaimanakah para biadab itu dapat dicegah untuk tidak melaksanakan niat pembunuhan mereka? Hal itu adalah suatu mujizat, yang mengalir keluar dari hadirat Tuhannya yang melindungi. "Jika ada pembaca yang heran bagaimana mereka dicegah," ia berkata, "saya lebih heran lagi, kecuali bahwa saya percaya tangan yang sama yang menahan para singa untuk tidak menjamah Daniel, telah menahan para biadab dari menyakiti saya."

Ketika menutup kisah tentang episode yang satu itu, ia kembali lagi, untuk kesekian ribu kalinya, kepada teks yang menyanyi, dan menangis, dan bersorak bersama dia di sepanjang hidupnya. Ia menulis: "Saya tidak pernah ditinggalkan tanpa mendengar janji itu dalam segala kuasanya yang menghibur dan menyokong melalui segala kegelapan dan kesedihan. "Lihatlah, Aku menyertaimu senantiasa."

Teks yang menyokongnya!

Janji yang menghiburnya!

Hadirat yang melindunginya!

"Lihatlah, Aku menyertaimu senantiasa!"

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MELUPUTKAN

Pada beberapa kesempatan kapal-kapal berlabuh ke dermaga yang bernama Resolution dan para misionari dianjurkan untuk pergi menyelamatkan diri. Pada setiap kejadian ini dia menolak, sambil berharap bahwa dia dapat memenangkan penduduk Tannese bagi Kristus. Dan akhirnya, ketika rumah misi dibobol dan setiap barang yang dia miliki tercuri ataupun hancur, dia menyadari bahwa jika dia tinggal lebih lama berarti nasib yang sangat menakutkan – yaitu dibunuh dan dimakan oleh para kanibal atau mati karena kelaparan. Setelah memutuskan untuk meninggalkan Tanna untuk sementara waktu, dia berjalan melintasi pulau tersebut, di tengah-tengah penderitaan yang tak terlukiskan dan bahaya yang tak terhitung, pergi ke stasiun misi yang ditempati oleh Tn. dan Ny. Mathieson.


Melewati perjalanan yang melelahkan, Paton pun tertidur lelap. Sekitar jam 10 anjing kecilnya yang setia, Clutha, hanya anjing ini yang tersisa dari semua miliknya, melompat tanpa suara ke atasnya dan membangunkannya. Memandang keluar, dia melihat bahwa rumah itu telah dikepung oleh para orang biadab, beberapa dengan obor yang menyala, dan tangan yang lain memegang senjata yang berbeda-beda. Dengan cepat mereka membakar gereja yang ada di dekat situ dan kemudian pagar tanaman yang menghubungkan gereja dengan rumah tempat tinggal. Dalam beberapa menit rumah itu juga mulai terbakar sementara orang-orang yang marah menunggu untuk membunuh para misionari ketika mereka berusaha untuk lari. Secara manusiawi, mereka tidak ada harapan. Bertulut, mereka menyerahkan diri mereka sendiri, tubuh maupun jiwa, kepada Tuhan Yesus, memohon Hadirat-Nya dan janji pertolongan-Nya: ". . . Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau . . ." (Mzm 50:15).

Membuka pintu, Paton keluar dengan terburu-buru untuk memotong pagar tanaman itu. Dengan segera dia dikepung oleh para biadab dengan pentungan yang terangkat dengan seruan, "Bunuh dia! Bunuh dia!" "Mereka berseru dalam marah," kata Paton, "namun Allah yang tak terlihat menahan mereka dan meluputkan saya. Saya berdiri tanpa dapat diserang di bawah perisai-Nya yang tak terlihat."

Hadirat Allah yang tak terlihat!

Perlindungan dari perisai yang tak terlihat!

Pelepasan dari Hadirat Ilahi!

Pas pada saat itu, suatu suara yang menderu dan berisik datang dari arah selatan. Sebuah angin tornado yang mengerikan dan hujan deras mendekat! Jika itu datang dari utara, api yang membakar gereja itu dapat dengan cepat menyebar dan membakar rumah misi itu. Namun, angin itu meniup api itu menjauh dari rumah dan kemudian hujan deras pun turun. Dengan hati penuh ketakutan, penduduk asli di sana melarikan diri sambil berseru: "Ini adalah hujan dari Yehova! Sungguhlah Allah mereka berperang untuk mereka dan membantu mereka."

Walaupun demikian, ketakutan mereka tidak berlangsung lama. Pagi hari berikutnya, mereka kembali untuk melanjutkan pekerjaan berdarah yang mereka lancarkan pada malam sebelumnya. Dengan tawa yang liar mereka mendekati rumah itu. Tiba-tiba, di tengah-tengah teriakan dan kegemparan yang makin keras, para misionari mendengar seruan, "Berlayar! Berlayar!" Mereka takut untuk percaya pada telinga mereka, tetapi itu nyata: sebuah kapal berlayar menuju pelabuhan ketika semua harapan terlihat sirna. Para misionari kemudian diselamatkan dan dibawa ke Aneityum.

"Dalam sukacita kami menyatukan puji-pujian kami," kata Paton. "Sungguh, Yesus kami yang berharga memiliki segala kuasa. Saya sudah sering menangis mengingat kasih dan kemurahanNya dalam pertolonganNya waktu itu."

Yesus–sumber semua kekuatan!

Yesus–sumber kasih dan belas kasihan!

Yesus–pencipta setiap keluputan!

Yesus berkata, "Segala kuasa diberikan kepada-Ku" dan berjanji, "Lihatlah, saya akan menyertai Engkau senantiasa." Melalui banyak pengalaman yang penuh dengan keajaiban dalam kehidupan John G. Paton, perkataan Kristus terbukti secara melimpah-limpah.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENYEDIAKAN

Di Aneityum Paton bermaksud untuk melanjutkan menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Tanna dan kemudian kembali ke Tanna saat jalan mulai terbuka. Namun setelah berbincang-bincang dengan misionari yang lain, dia setuju untuk pergi ke Australia dulu, kemudian ke Skotlandia untuk membangkitkan ketertarikan yang lebih besar pada pekerjaan di Hibrida Baru dan untuk merekrut misionari baru dan khususnya untuk mengumpulkan sejumlah besar dana untuk pembangunan dan pemeliharaan kapal layar yang digunakan untuk membantu para misionari dalam penginjilan di pulau-pulau. Kemudian dia mengumpulkan cukup banyak dana yang digunakan untuk membuat sebuah kapal uap misi.

Kenangan akan pengalaman masa kecil mendorongnya untuk menjalankan misi ini. Waktu itu merupakan tahun yang sulit. Panen kentang gagal dan panen-panen yang lain juga jelek. Keluarga Paton, seperti para petani yang lain, berada dalam kekurangan yang besar. Saat ayah sedang dalam perjalanan bisnis, baik makanan dan uang habis sama sekali. Ibu yang beriman membawa masalah ini kepada Tuhan dalam doa dan menyakinkan anak-anaknya bahwa Dia akan menyediakan kebutuhan-kebutuhan mereka pada pagi hari. Benarlah, satu keranjang makanan tiba entah dari mana keesokan harinya. Anak-anaknya berkumpul dekatnya, ibu berkata, "Anak-anak yang terkasih, kasihi Allah yang ada di surga. Beritahu Dia semua kebutuhanmu dalam iman dan doa, dan Dia pasti akan menyediakannya, maka itu akan digunakan untuk kebaikanmu dan kemuliaan-Nya."

Paton percaya bahwa Allah yang menjaga, melindungi dan meluputkannya dengan sangat hebat selama hari-harinya di Tanna, juga akan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi yang dibutuhkan misi ini, seperti juga Dia telah menyediakan kebutuhan materi keluarganya saat dia masih muda. Dia memiliki keyakinan yang sering diekspresikan oleh Hudson Taylor: "Pekerjaan Allah yang dikerjakan sesuai kehendak-Nya tidak akan pernah kekurangan penyediaan-Nya." Meresponi pesan Paton yang mengharukan, sumbangan berdatangan. Uang itu banyak yang berasal dari puluhan ribu anak-anak remaja yang menjadi pemegang saham kapal yang akan dibuat itu, dengan satu saham seharga enam pence. Dia menghubungkan kesuksesan pengumpulan dana in dengan Hadirat Allah yang menyediakan. "Malaikat Hadirat-Nya mendahului saya," katanya, "dan secara ajaib menggerakkan umat-Nya untuk ambil bagian."

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MEMAMPUKAN

Saat di Skotlandia, Paton menikah dengan Margaret Whitecross, dan mereka bersama-sama berlayar ke Laut Selatan. Mereka tiba di Aneityum pada bulan Agustus 1866, dan dia mendengar bahwa Abraham tua yang setia telah mendapatkan upahnya di surga. Abaraham pernah diberi dan dihadiahi sebuah jam mahal oleh teman misionarinya yang mengirimnya dari Australia. Ketika dia akan meninggal, dia berkata, "Berikan itu kepada Missi Paton dan beritahukannya bahwa saya harus pergi kepada Yesus, di sana waktu mati."

Tn. dan Ny. Paton mendirikan sebuah badan misi baru di Aniwa, pulau terdekat dengan Tanna, untuk memimpin orang-orang Aniwa kepada Kristus sambil menantikan hari ketika dia dapat kembali ke tempat yang merupakan harapan dan penderitaannya dulu. Mereka membangun sebuah rumah untuk mereka sendiri tinggali dan dua rumah untuk anak-anak yatim piatu. Kemudian sebuah gereja, rumah produksi dan beberapa bangunan didirikan. Mereka menyadari bahwa penduduk Aniwa sebenarnya sama bejatnya dengan penduduk Tanna. Ketahyulan yang sama, kekejaman dan kebejatan kanibal yang sama, mental barbar yang sama, kurang memikirkan kepentingan orang lain adalah buktinya. Barang-barang milik para misionari terkadang dicuri dan banyak usaha yang dilakukan untuk membunuh mereka. Semua jenis pengalaman, dari yang lucu sampai mengerikan, masuk ke dalam kehidupan mereka.

Pertama-tama Paton tinggal di pondok penduduk yang kecil. Saat dia sibuk dalam pembangunan sebuah rumah yang agak jauh sedikit, kapaknya terjatuh dan mengiris dalam pergelangan kakinya. Dia mendesak beberapa pribumi untuk mengantarkannya ke gubuknya. Ketika mereka meminta pembayaran, dia memberikan beberapa kail ikan, yang memang sangat dibutuhkan, dan memberikan beberapa kepada salah satu dari orang-orang itu. Orang ini mengantarkannya beberapa langkah, kemudian membaringkannya dan meninggalkannya. Orang kedua dibayar serupa dan setelah beberapa langkah membaringkannya sama seperti orang yang pertama; demikian pula orang ketiga dan seterusnya. Sementara itu, Paton menderita amat sangat dan mengalami perdarahan yang serius.

Setelah sembuh dan kembali membangun rumah, dia menyadari bahwa suatu hari dia membutuhkan beberapa alat yang ada di gubuk. Menuliskan sebuah catatan di atas kayu, kemudian ia menyerahkan kepada seseorang kepala suku, bernama Namakei, dan memintanya untuk memberikan catatan itu kepada Ny. Paton. "Tetapi apa yang kamu inginkan?" tanya kepala suku tua itu dengan heran.

"Kayu itu akan memberitahu dia," jawabnya.

Namakei berpikir bahwa hal tersebut adalah semacam gurauan, tetapi melakukan segala yang diminta. Kemudian dia sangat terkejut ketika Ny. Paton mengirim apa yang suaminya minta. Misionari itu mengambil keuntungan dari kejadian itu untuk menceritakan kepada dia tentang Alkitab, yang melaluinya dia dapat mendengar Allah "berbicara" kepadanya. Sebuah keinginan yang menggebu-gebu terbangunkan di dalam jiwa orang tua itu untuk melihat Firman Allah yang tercetak dalam bahasanya sendiri, dan membuat dia memberikan pertolongan yang besar dalam pernerjemahan, yang juga menginspirasikan dia untuk belajar membaca. Ketika bagian pertama dari Alkitab telah dicetak ia bertanya dengan sungguh-sungguh: "Missi, dapatkah Firman itu berbicara? Apakah itu berbicara dalam bahasa saya?"

"Ya, itu dapat."

"O Missi, buatlah itu berbicara kepada saya!"

Paton membacakannya beberapa ayat dan kepala suku itu berseru dengan girang, "Ayat itu berbicara! Ayat itu berbicara dengan kata-kata saya! Tolong berikan itu kepada saya!" Setelah mendekapnya, ia menyerahkannya kembali dengan kecewa dan berkata, "Missi, ia tidak berbicara kepada saya!"

Paton menjelaskan bahwa dia harus terlebih dahulu belajar untuk membaca, barulah ia membuat buku itu berbicara. Mengetahui bahwa penglihatan kepala suku itu sangat buruk, dia menemukan sepasang kacamata yang cocok dengannya dan Namakei menangis bahagia, "Saya telah mendapat kembali penglihatan yang saya miliki ketika saya masih muda. O Missi, buatlah buku itu berbicara kepada saya sekarang!

Dia diberi tiga huruf pertama dalam alphabet. Kemudian dia menghafal ketiga huruf itu dan berlari kepada misionari tersebut dan katanya: "Saya telah menghafal A, B, C. Sekarang itu sudah ada dalam otak saya. Berikan kepada saya tiga huruf lagi."
Namakei belajar dengan rajin. Saat dia dapat membaca, dia berkata kepada masyarakat yang ada di sana: "Datang dan saya akan membiarkan kamu mendengar bagaimana Firman Allah berbicara dalam bahas a kita. Dengarkanlah perkataan yang indah ini, yang memberitahukan mengapa Missi datang untuk hidup di antara kita orang celaka dan tentang teman-Nya Yesus, yang selalu pergi berserta dengannya, untuk membuatnya kuat dalam segala usahanya."

Dia membaca dengan terbata-bata Firman itu: "Pergilah dan jadikanlah semua bangsa murid-Ku. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa."

Seperti Nebudkadnezar mengobservasi Orang Keempat, yang seperti Anak Allah, dalam tungku perapian bersama Sadrakh, Mesakh dan Abednego, demikianlah orang-orang biadab yang ada di Hibrida Baru melihat bahwa misionari itu tidak sendirian dan tidak berdiri di atas kekuatannya sendiri.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENGUBAH

Melalui keputusasaan dan pencobaan yang bertubi-tubi, para misionari terus bekerja, tahu bahwa Dia yang bersama dengan mereka adalah Allah yang penuh kuasa dalam penyelamatan dan penuh kuasa untuk mengubah. Paton bersaksi: "Dalam dunia penyembah berhala, setiap orang yang sungguh bertobat otomatis menjadi seorang misionari. Hidup yang berubah, bersinar di tengah-tengah kegelapan, adalah sebuah kabar baik dalam huruf cetak besar yang dapat dibaca semua orang."

Namakei berubah menjadi sebuah bukti yang mengesankan akan "ciptaan baru di dalam Kristus," walaupun memerlukan cukup banyak waktu untuk berpindah dari masa memuji Yesus hingga akhirnya masuk ke dalam masa memiliki dan menjadikan-Nya Raja dalam kehidupannya. Berkaitan dengan kelangkaan akan air yang hebat di Aniwa dan banyaknya penyakit akibat meminum air kotor, Paton memutuskan untuk menggali sebuah sumur. Ketika ide itu diusulkan ke Namakei, kepala suku tua itu berpikir Missi telah kehilangan pikirannya. Tetapi pria putih itu bekerja keras selama berhari-hari, meskipun teriknya matahari tropis bersinar menyinari tubuhnya. Ketika sumur itu runtuh pada satu malam, ia menggalinya lagi dengan sepenuh tenaga. Namakei berusaha untuk membujuknya untuk berhenti dari usahanya yang gila dan bodoh, memberitahunya bahwa air hanya datang dari atas dan jika ia menemukan air ia akan jatuh menuju ke laut dan dimakan oleh hiu-hiu. Akhirnya pria putih itu keluar dari sumur Yehova dengan seember penuh air. Namakei dengan ragu mengambilnya dan merasakan airnya dan kemudian berseru: "Hujan! Ini adalah hujan! Dunia menjadi terbalik semenjak Yehova datang ke Aniwa." Dengan hati-hati ia dan orang-orang lainnya mengintai ke dalam sumur untuk melihat "Hujan Yehova" memancar dari bawah.

"Apakah sumur ini hanya untuk anda dan keluargamu?" tanya mereka.

"Tidak, kalian semua boleh datang dan minum sebanyak yang kamu perlukan."

Dengan sangat gembira, orang-orang berlarian untuk menyebarkan berita itu. Tetapi Namakei berkata, "Missi, bolehkah saya menolongmu di pelayanan Sabat berikutnya? Saya mau berkhotbah tentang sumur." Missi itu langsung setuju.

Mendengar apa yang telah terjadi, sekumpulan massa besar berkumpul di dalam gereja Sabat berikutnya. Namakei menyampaikan sebuah pesan yang berkuasa dan mengesankan, penutupannya adalah sebagai berikut:

"Teman-teman Aniwa, sesuatu di dalam hatiku memberitahuku bahwa Allah yang tidak kelihatan itu ada dan aku akan melihat Dia suatu hari ketika timbunan debu yang sekarang membutakan mata tuaku dihilangkan, persis seperti kita melihat air itu yang begitu lama tidak terlihat, ketika lumpur dan batu dihilangkan dalam proses pembuatan sumur. Mulai hari ini, rakyatku, saya harus menyembah Allah yang telah membukakan bagi kita sumur itu. Biarlah setiap orang yang berpikir seperti saya sekarang pergi dan membawa berhala Aniwa sehingga mereka dapat dihancurkan. Biarlah kita berdiri untuk Allah Yehova yang mengirim Putra-Nya Yesus untuk mati bagi kita dan membawa kita ke surga." Khotbah ini, bersamaan dengan contoh kegigihan kepala suku, membuat banyak orang berbalik dari berhala-berhala kepada Allah yang sejati.

Setelah banyak permintaan, Namakei mendapatkan izin untuk pergi ke Aneityum dengan Paton untuk menghadiri pertemuan tahunan para misionari. Dia sekarang sangat tua dan rapuh. Di pertemuan ia gembira mendengar bagaimana orang-orang dari berbagai macam pulau menerima Injil dan berbalik dari jalan penyembahan berhala. "Missi," katanya, "saya mengangkat kepala saya seperti sebuah pohon. Saya bertumbuh semakin tinggi dengan sukacita."

Setelah beberapa hari di Aneityum, kepala suku tua itu merasa sakit ketika dia sedang beristirahat di bawah bayangan pohon Banyan. "O Missi," dia berbisik, "Saya hampir mati! Beritahu rakyatku supaya terus menyenangkan Yesus. O Missi, biarkanlah aku mendengar kata-katamu di dalam doa. Missiku yang terkasih, aku akan bertemu dengan kamu di rumah Yesus."

Peristiwa itu adalah kematian yang penuh kemenangan dari seseorang yang dulunya kanibal, tetapi yang telah datang di bawah sentuhan yang mengubahkan dari Tuhan yang Hidup.

Orang kudus lainnya, yang diubahkan dari seorang yang tidak beradab dan brutal, adalah Naswai. Dia adalah seorang guru dari sebuah sekolah di desanya dan sangat bersemangat di dalam hal-hal yang berhubungan dengan Kristus. Dalam satu peristiwa, sekelompok orang datang dari Fotuna untuk melihat bagi diri mereka sendiri apa yang telah Injil lakukan di Aniwa. Naswai membuat penyampaian yang sangat kuat, ia berkata: "Orang-orang Fotuna, ketika kamu kembali, beritahu orang-orangmu bagaimana kami orang-orang Aniwa berubah. Sebagai orang-orang yang tidak mengenal Allah, kami bertengkar, membunuh, dan saling memakan. Kami tidak memiliki kedamaian, tidak ada sukacita, di dalam hati atau di rumah atau di negeri kami. Sekarang Yehova telah mengubah seluruh hati kami yang gelap dan kami sebagai saudara/i seiman, dalam kedamaian dan kebahagiaan."

Putri Namakei, Litsi, telah dilatih semenjak kanak-kanak oleh para misionari. Ia menjadi sebuah contoh yang mulia tentang wanita Kristen. Menjadi seorang putri dari kepala suku yang paling penting di pulau itu, ia disebut "Ratu Aniwa." Pada waktunya, ia menikahi seorang pria bernama Mungaw. Suatu malam, Mungaw ditembak oleh Nasi, kepala suku dari pulau Tanna. Beberapa waktu kemudian, Litsi pergi ke Tanna karena digerakkan oleh rasa dendam yang teramat sangat dan kudus. Dia pergi sebagai seorang misionari kepada orang-orang yang kepala sukunya telah membunuh suaminya. Orang-orang Kristen lain dari Aniwa bergabung dengannya, dan mereka menyebarkan Injil yang mulia ke negeri yang gelap itu. Demikianlah akhirnya, beberapa orang yang telah ditobatkan Paton di Aniwa memberitakan Kristus kepada orang-orang miskin dan hina di pulau berdarah di mana ia telah diasingkan bertahun-tahun sebelumnya.

Demikianlah sedang dijawab, doanya yang begitu sering ia panjatkan di tempat yang suci itu, dimana ia menguburkan istrinya dan bayinya yang berumur 3 bulan setelah mencapai Tanna. Ia berkata: "Kapanpun Tanna berbalik kepada Tuhan dan dimenangkan bagi Kristus, orang-orang akan menemukan kenangan dari tempat itu masih hijau. Disanalah saya mengklaim bagi Allah negeri tempat saya menguburkan keluargaku yang telah meninggal dalam iman dan pengharapan."

Iman apa? Pengharapan apa? Iman di dalam janji! Pengharapan di dalam Alkitab! "Lihatlah, Aku besertamu senantiasa." Diyakinkan oleh Hadirat yang manis dan menyertai itu, ia mengetahui bahwa perubahan-perubahan luar biasa akan terjadi – orang-orang biadab itu akan menjadi orang kudus, para pembunuh akan menjadi para misionari, orang egois menjadi pelayan, dan semua penghuni kekejaman dan kegelapan akan bersuara bersamaan dengan puji-pujian sang Penebus.

AYAT ITU BERBICARA TENTANG HADIRAT YANG MENCUKUPI DAN TAK PERNAH GAGAL

Adalah hari yang bersejarah ketika Paton mengunjungi kembali Tanna. Nowar yang tua, kepala suku yang bersahabat itu, sangat gembira melihatnya dan Mrs. Paton, dan meminta mereka untuk tinggal. Dia berjanji akan menyediakan makanan dan perlindungan. Namun sepertinya dia menyadari, bahwa apa yang dapat ia berikan sama sekali tidak cukup dan juga tidak diperlukan, karena para misionari memiliki sumber kuasa yang lebih besar daripada semua tipu muslihat manusia. Dia mengingat kejadian-kejadian yang tak terhitung banyaknya, ketika kebenaran ini sungguh nyata. "Kemudian," Paton bercerita, "dia memimpin kami ke cabang pohon chestnut dimana saya berlindung saat malam yang sepi ketika semua harapan sudah tidak ada lagi, dan ia berkata kepada Mrs. Paton dengan tulus, `Allah yang melindungi Missi dalam pohon ini akan selalu menyertaimu!'" Bahkan mata para biadab dapat melihat bahwa misionari tersebut memiliki Hadirat Allah Mahakuasa yang tak pernah gagal.

Pada umurnya yang ke-83, John G. Paton meninggal di Australia pada tanggal 28 Januari 1907. Tubuhnya dibaringkan di Boroondara Cemetery dan di nisan kuburnya tertulis ayat yang mengubah seluruh hidupnya.

Mengenai ayat ini, anaknya, F.H. Paton menuliskan: "Dalam percakapan pribadi maupun ceramah umum, ayahku selalu saja mengutip kata-kata ini, `Lihatlah, Aku menyertaimu senantiasa' sebagai inspirasi akan ketenangan dan keyakinannya pada masa genting, dan pengharapannya saat menghadapi situasi yang mustahil. Betapa hal ini disadari oleh keluarganya, sehingga kami memutuskan untuk menuliskan ayat ini pada batu nisannya yang di Boroondara Cemetery. Bagi kami semua, ayat ini sepertinya menyimpulkan semua elemen inti dalam imannya dan sumber keberanian dan ketabahannya."
Ayat yang terdapat pada bibirnya!

Ayat yang terdapat dalam hatinya!

Ayat yang terdapat di atas batu nisannya!

Inspirasi dari keyakinannya!

Elemen inti dalam imannya!

Sumber keberanian dan ketabahannya!

"Lihatlah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman!"

"Sampai kepada akhir zaman."

Kalimat terakhir pada volume kedua buku Autobiografi misionari hebat ini berbunyi: "Marilah kita bersekutu bersama lagi, dalam Hadirat dan kemuliaan Sang Penebus." Hadirat Allah yang mencukupi dan tak pernah gagal ada bersama dengan John G. Paton "sampai kepada akhir" perjalanan hidupnya dan sampai kehidupan yang tak terlukiskan di surga. Ia tidak memasuki tempat itu sebagai orang asing. Ia hanya memperbaharui persekutuan yang telah dia miliki dan yang mempermuliakan hari-hari hidupnya dibumi ini. Ia telah masuk ke dalam "hadirat dan kemuliaan sang Penebus," di mana kesenangan berlanjut selamanya.

Segala Kemuliaan Hanya Bagi Allah!
The End

Tidak ada komentar: