Ketika Allah Jehovah membawa keturunan Yakub keluar dari Mesir, memang dari awal tujuannya adalah mendirikan Negara Agama (Theo-cracy). Jehovah sedang mendirikan sebuah negara yang ditugaskanNya untuk menjaga ibadah simbolik yang dipusatkan di Bait Allah Yerusalem. Seluruh umat Jehovah adalah warga negara Israel dan seluruh warga Israel adalah umat Jehovah. Keberlangsungan negara-agama ini sesungguhnya hanya sampai kedatangan Yesus sebagai hakekat ibadah simbolik yang dijaga oleh negara-agama Israel-Yudaisme itu. Kepentingan mendirikan negara agama adalah untuk menjaga ibadah simbolik sampai yang disimbolkan tiba.
Jadi, setelah kedatangan Yesus Kristus, hakekat dari seluruh ibadah simbolik PL, maka tidak ada keperluan untuk tetap mempertahankan negara agama. Oleh sebab itu Yesus Kristus mengumumkan keterpisahan antara agama dan negara (Matius 22:21).
Negara-agama adalah negara yang pendiriannya memiliki misi keagamaan. Jadi negara-agama itu bertujuan untuk menyebarkan agama, atau setidaknya untuk memelihara keberlangsungan agama. Yesus Kristus mengumumkan keterpisahan negara dari agama karena tujuan negara-agama yang dimaksudkan oleh Allah Jehovah telah selesai.
Dan manusia memasuki era menyembah secara hakekat, secara rohani dan dalam kebenaran. Dengan kata lain, manusia memasuki era mempercayai sesuatu yang dirinya sendiri yakini benar dan akan menyembah dengan hatinya bukan dengan badannya.
INDONESIA BUKAN NEGARA AGAMA
Ketika Bung Karno dan sejumlah pendahulu kita mendirikan Republik Indonesia, memang sempat terjadi tarik-ulur segala kepentinggan. Sejumlah elemen ingin memasukkan agenda agama melalui Piagam Jakarta. Tetapi akhirnya para pendiri negara yang arif menyepakati bahwa Indonesia bukan negara agama, melainkan negara sekuler, yang di dalamnya hidup berbagai agama yang menjunjung tinggi Tuhan. Hal tersebut diwujudkan melalui sila pertama yaitu
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Dengan kesepakatan saat pendirian Republik Indonesia bukan negara agama, maka selanjutnya negara tidak mengurus urusan agama, melainkan hanya mengurus urusan kemanusiaan. Artinya, negara tidak mengurus urusan antara manusia dengan Allah, atau apa saja yang disembahnya melainkan hanya mengurus urusan antara manusia dengan manusia saja. Karena Republik Indonesia bukan negara agama, maka seharusnya tidak boleh ada Departemen Agama. Sayang sekali Presiden Abdurahman Wahid gagal meliquidasi Departemen Agama. Presiden Gusdur adalah satu dari seglintir orang yang sangat paham tentang perbedaan negara-agama dengan negara-sekuler serta paham akan tujuan awal Republik Indonesia ini didirikan. Setelah beliau meninggal. kini belum kita dapatkan tokoh seperti beliau yang sangat jenius dan paham akan hal yang sangat esensial ini. Bahkan banyak yang sengaja tidak mau paham dan pura-pura tidak paham. Dan kita merasa sangat sedih karena ternyata banyak orang Kristen, bahkan pemimpin kekristenan, tidak paham akan hal ini. Pemimpin-pemimpin Kristen tidak berkata kepada pemerintah bahwa hakekat kekristenan yang kami imani adalah agama terpisah dari negara. Kami memahami bahwa negara tidak boleh mencampuri urusan iman warga negaranya. Jika pemimpin-pemimpin Kristen paham, maka kita akan membiarkan agama lain memiliki Direktorat Jendralnya di Depag, namun khusus Krisen tidak perlu karena menjunjung tinggi prinsip kekristenan yaitu keterpisahan antara agama dan negara.
Kerena hanya Gusdur dan segelintir orang saja yang mengerti, maka keadaan semakin kusut. Pemerintah pusat maupun daerah menganggarkan uang negara untuk urusan agama. Bahkan pejabat keagamaan mendapatkan gaji maupun tunjangan dari uang negara. Pembangunan berbagai fasilitas agama, berbagai “center” juga memakai uang negara. Di Amerika, yang lebih dari delapan puluh persen warganya adalah Kristen, tidak ada satu gereja pun yang dibangun dengan uang negara. Mereka sangat paham bahwa USA bukan negara agama sehingga ada keterpisahan antara agama dan negara.
Supaya umat agama lain paham tentang keterpisahan antara agama dan negara, tentu orang Kristen harus menjadi pioneer untuk penanaman konsep. Orang Kristen di DEPAG harus paham akan hakekat pengajaran kekristenan tentang hubungan agama dan negara. Para Gembala jemaat harus sangat paham akan topik ini. Demikian juga para rektor Sekolah Theologi harus sangat paham, bukannya malah tenggelam dalam menda-patkan akreditas dari pemerintah. Karena Sekolah Theologi itu bagian dari agama, kalau agama terpisah dari negara maka demikian juga dengan Sekolah Theologinya.***
Sumber: Pedang Roh Edisi 69 Edisi LXIX Tahun XVI Editor: Dr. Suhento Liauw, Oktober - November Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar