Senin, 21 Oktober 2013

SEKOLAH THEOLOGI itu MILIK TUHAN/NEGARA?

Di depan telah  kita bahas tentang  anggota jemaat yang tidak mengerti sekalipun doktrin  fundamental  kekristenan  yang  paling sederhana,  pemimpin  pemuda  yang  tidak tahu  apakah  ia  pasti  masuk  Sorga  atau tidak. Siapakah  sesungguhnya  yang bersalah  dalam  keterpurukan  gereja?  Kalau kebanyakan anggota jemaat  sebuah  gereja tidak  tahu  apa-apa,  sesungguhnya  siapakah yang  bersalah?

Ketika  seorang  anggota  jemaat  ditanya, apakah orang Kristen yang lahir  baru jatuh  ke  dalam  dosa  perzinahan  ia  akan masuk Neraka?  Apakah orang  Kristen lahir baru  karena  cinta  pindah  agama  ia  akan tetap  masuk  Sorga?  Kalau  ia  tidak  bisa menjawab kecuali  berkata,  “entah  ya...saya kurang  tahu,  karena  Gembala  saya  tidak pernah menyinggung hal itu.”  Atas jawaban  demikian,  siapakah  yang  salah?  Lalu kita  lanjutkan,  “lalu  tiap  minggu  apa  isi khotbahnya?”  Bagaimana  kalau  ia  menjawab,  “isi  khotbahnya  ya  sekitar  uang, berkat,  dan  tentang  hidup  harus  kudus, harus  rajin  ke  gereja.”    Jika  kebanyakan anggota  jemaat  tidak  mengerti  kebenaran hingga  yang  paling  sederhana,  itu  adalah karena  Gembalanya  memang  tidak  mengerti  kebenaran.

Tujuan  Masuk  Sekolah  Theologi
Di  dalam  artikel  Gereja  Yang  Tidak Jelas Posisinya  saya  katakan bahwa kepala  benang  kusut  dari  kondisi  gereja  yang semakin  berputar  ke  bawah  ialah  karena gereja memiliki doktrin yang salah namun mereka  tidak  mau  melepaskannya, lalu mereka  berusaha  untuk  menghindarkan anggota  jemaat  mereka  dari  pembahasan doktrin.  Gereja mereka telah  puluhan  tahun melakukan kesalahan  itu,  dan  kesalahan  itu telah  menjadi  kebudayaan  bahkan  telah menjadi  salah  satu  ciri-khas  gereja  mereka.

Tetapi  ketika  seseorang  memasuki pendidikan theologi,  bukankah sepatutnya di situ ia  akan mempelajari segala sesuatu yang  benar,  atau  setidak-tidaknya  ia  memasuki suasana menyelidiki Kitab Suci. Tetapi mengapakah  hari  ini  kita  dapatkan  banyak  sekolah  theologi  tidak  memberi ruang kepada mahasiswa mereka untuk bertanya. Banyak dosen  tidak  siap  untuk  dikonfrontir mahasiswa  muda, kritis  yang  penuh idealisme. Jawabannya karena telah bergenerasi-generasi  tradisi  sekolah  theologi  bukan tempat bagi jiwa yang penuh rasa ingin tahu. Sekolah theologi berevolusi sesuai dengan  tuntutan  atau  keinginan  para  mahasiswa  dan  gereja  yang  mengirim  mereka.

Misalnya,  karena  gereja  yang  mengirim mereka adalah gereja yang melakukan pembaptisan bayi, yang juga adalah gereja pendukung  secara  finansial  terhadap sekolah,  maka  pihak  sekolah  mengambil kebijaksanaan  untuk  tidak  membahas hal-hal yang sifatnya bisa menyalahkan gereja pendukungnya.  Jadi, mahasiswa  bersekolah  bukan  untuk  mencari  kebenaran  atau menyelidiki firman  Tuhan,  melainkan untuk memenuhi kebutuhan  proses  regenerasi kepemimpinan  denominasi  gerejanya. Setelah  yang bersangkutan  lulus,  ia  pasti hanya  sekedar  beo  atau  tape-recorder  yang sifatnya  menyampaikan  apa  yang didengarnya  bukan  yang  benar  menurutnya. Tidak  ada  pendalaman  pengetahuan,  atau adu argumentasi  apalagi  berdebat  untuk mendapatkan  kebenaran. Belakangan  ini  tambah  parah  lagi  karena  pemerintah menaikkan  budget  bidang pendidikan sehingga  gaji guru meningkat, dan  banyak  orang  Kristen  ikut tergiur  untuk menjadi  guru  agama  Kristen.  Para  mahasiswa theologi  yang bukan mau menjadi pelayan Tuhan melainkan menjadi guru agama tentu tidak memasalahkan kebenaran theologi  yang  diajarkan kepadanya  melainkan asal sekolah tersebut diakui oleh pemerintah  atau  terakreditasi.

Karena masuk sekolah theologi bukan untuk  mempelajari  kebenaran,  melainkan untuk  sekedar regenerasi  kepemimpinan atau untuk karier pekerjaan, maka sekolah theologi  ikut  terpengaruh  sehingga  berevolusi mengikuti  kebutuhan  zaman.  Idealisme  kebenaran  menjadi  relatif  bagi mereka karena yang mereka kejar dan harapkan  bukan kebenaran melainkan pengakuan  gereja  dan  pemerintah.  Pertanyaan yang  relevan bukan  apakah  theologinya benar  sesuai  dengan  Alkitab dan  akal  sehat, melainkan apakah  sesudah tamat  nanti bisa diterima oleh gereja dan sekolah.  Akhirnya sekolah  theologi  bukan  lagi  milik  Tuhan yang  menghasilkan  hamba  Tuhan,  melainkan  milik  negara  yang  menghasilkan pegawai  negeri.

Tujuan  Utama  Sekolah  Theologi
Tuhan  tidak  pernah  berkata  bahwa  Ia akan  mendirikan  sekolah  theologi,  panti asuhan,  rumah  sakit,  panti  werda dan  lain sebagainya.  Tuhan hanya berkata bahwa Ia akan  membangun  jemaatNya  (Mat.16:16-18). Sejumlah orang yang beriman  kepada-Nya  berkumpul  secara  rutin  membentuk suatu  komunitas  atau  perkumpulan  yang berdiri teguh atas firmanNya, serta melaksanakan  kehendakNya.  Kumpulan  orang ini  disebut  jemaat  dari  Allah  yang  hidup, tiang  penopang  dan  dasar  kebenaran. Jemaat  dari  Allah  yang  hidup  ini  adalah pusat kebenaran dari Sorga, bahkan seperti  sebuah  kantor  konsulat  sorgawi.  Semua  yang  dilakukan  di  sebuah  jemaat  lokal alkitabiah  bukan  hanya  menjadi  pusat  perhatian  manusia  di  bumi,  bahkan  menjadi  perhatian  malaikat  di  Sorga  (Ef.3:10).

Jemaat  lokal  yang  alkitabiah,  yang  menjadi tiang  kebenaran dan dasar kebenaran, tidak tunduk  kepada kuasa  apapun,  bahkan  kuasa alam  maut  sekalipun.  Sebab,  bagaimana mungkin  sebuah  jemaat  yang tunduk kepada  pemerintah  duniawi  bisa  mengumandangkan  kebenaran  bagi  pemerintah-pemerintah  di dunia,  dan  penguasa-penguasa di Sorga? Sebagai pribadi orang Kristen yang menjadi warga negara sebuah negara di dunia, kita   harus tunduk kepada hukum  positif  sebuah  negara.  Tetapi  jemaat dari  Allah yang hidup  hanya  tunduk  kepada Allah  yang  hidup  SAJA.

Dalam  melaksanakan  tugasnya  maka jemaat  dari  Allah  yang  hidup  mendirikan sekolah  theologi,  panti asuhan,  rumah  sakit dan  lain-lain.  Semua  para-church  tersebut harus  di  bawah  kendali  jemaat  lokal yang mendirikannya.  Karena  sekolah  theologi adalah proyek jemaat  lokal,  dan bertujuan mencetak tenaga  pelayan  jemaat  lokal, tentu  sekolah  theologi  demikian  tidak membutuhkan  akreditasi  dari pemerintah. Bahkan  akreditasi  dari  pemerintah  akan akan menurunkan reputasinya dari sekolah theologisorgawi menjadi sekolah theologi duniawi  atau  sekolah  theologi  yang menghasilkan  pelayan  Tuhan  menjadi sekolah  theologi  yang  menghasilkan pegawai  negeri.

Pengaruh  Sekolah  Theologi Terhadap  Gereja
Pada  artikel  sebelumnya  pembaca telah  saya  ajak  melihat  keadaan  gereja  yang berputar  ke  bawah  (spiral-down).  Orang yang  paling  bertanggung  jawab  atas  keadaan  gereja  yang  berputar  ke  bawah  itu ialah  pengajar  firman  di  gereja  tersebut. Dan pengajar firman  di sebuah  gereja tentu adalah  hasil  produksi  dari  sebuah  sekolah theologi.

Akhirnya dapat kita rangkai  sebab akibat keadaan gereja yang berputar ke bawah sebagai  berikut.  Orang Kristen  di  sebuah gereja  tidak  diajar  sebagaimana  mestinya oleh Gembalanya. Mengapakah bisa demikian?  Sebab,  Gembalanya  memang  tidak memiliki  pengetahuan doktrinal  yang cukup.  Mengapakah bisa  demikian?  Sebab, ia  belajar  di  sekolah  theologi  yang  para dosennya  adalah  orang-orang  yang tidak memiliki  pengetahuan  doktrinal  yang cukup  bahkan  tidak  memiliki  tingkat akademik  yang memadai.  Mengapakah bisa demikian, bukankah mereka memiliki titel  yang  tinggi,  misalnya  Master of Theology dan  bahkan  Doctor of  Theology?

Jawabannya,  karena  ada  banyak  sekolah theologi yang pada dasarnya adalah didirikan  untuk  menjual ijazah.  Mengapakah bisa  ada  sekolah  theologi  yang  menjual ijazah  terakreditasi?  Jawabannya,  karena gereja-gereja  dan  sekolah-sekolah  mengharuskan  Gembala  dan  Guru  mereka  memiliki  ijazah  yang terakreditasi  sehingga ada  pihak  yang  melihat  peluang  bisnis  di situ. Mengapakah bisa demikian? Jawabannya,  karena  orang  Kristen  tidak  cukup rohani melainkan sangat duniawi sehingga tidak  sanggup menilai  perkara-perkara rohani  dan  tidak  mengutamakan  perkara rohani. Mengapakah  bisa  demikian? Jawabannya, karena para Gembala mereka tidak  mengajar dan membawa anggota jemaat dan orang-orang  Kristen  mengerti perkara  rohani  dan  doktrinal  dengan  baik. Mengapakah bisa  demikian,  karena  mereka sekolah di sekolah theologi yang asal-asalan saja. Pembaca  pasti  bisa  bertanya terus  dan  jawaban  serta  pertanyaan  akan berputar  terus  karena  gereja dan sekolah theologi saling  mempengaruhi.

Untuk  memutus  rantai  jerat  keadaan gereja yang berputar ke bawah, diperlukan tindakan  berani dan tegas.  Harus ada orang yang  berani  mengajar  kepada  anggota jemaat  perkara  doktrinal  yang  alkitabiah, dan  gereja  harus  berjalan  di  atas  prinsip-prinsip  sesuai  dengan  Alkitab.  Segala sesuatu  yang  tidak  alkitabiah,  bahkan tradisi  yang  mungkin telah  puluhan  bahkan ratusan  tahun,  yang  telah  mendarah-daging,  harus  berani  disingkirkan  dengan  alasan  tidak  alkitabiah.

Gereja  yang  alkitabiah  mendirikan sekolah  theologi  yang  alkitabiah.  Sebuah sekolah  theologi  yang  dengan  setia  dan jujur  mengajarkan  kebenaran.  Segala macam  doktrin  dari  berbagai  denominasi dikupas,  diselidiki  dengan  seksama  dengan tidak  memihak  denominasi  manapun. Doktrin  yang  tidak  bisa  dipertahankan dengan  argumentasi  harus  gugur.

Sekolah  theologi  harus  menjadi  laboratorium  rohani,  selalu  melakukan  research untuk  mendalami  doktrin  berbagai  denominasi dan mendapatkan doktrin yang paling benar,  yaitu  yang  paling  mampu  bertahan terhadap  berbagai  serangan  argumentasi. Mahasiswa  dibiasakan  untuk  bersikap kritis, bukan penurut melainkan penyelidik yang  haus  akan  kebenaran. Sikap  membela  kebenaran,  bukan membela  denominasi  dan  tradisi  ditumbuhkan  di  dalam  hati  para  mahasiswa. Ketika  mereka  tamat  nanti  mereka  akan menjadi  pahlawan  kebenaran,  bukan  pencari  kerja.  Mereka  adalah  pembela  kebenaran, bahkan orang-orang yang siap mati bagi  kebenaran.  Hanya  dengan  cara demikianlah  maka  keadaan  gereja  yang berputar ke bawah (spiral-down) bisa dita-han,  bahkan  diubah  menjadi  berputar  ke atas  (spiral  up).

Diperlukan  orang-orang  yang  jujur, tulus  dan  berani  untuk  menolong  gereja-gereja  bangkit.  Lihatlah, gereja-gereja  di Indonesia  telah  kehilangan  kesaksian.  Di wilayah-wilayah  kantong  Kristen  justru penuh dengan pemabok. Anggota-anggota jemaat  tidak  mengerti  doktrin, bahkan Doktrin Keselamatan yang adalah  doktrin inti  kekristenan  tidak  difahami. Karena kalau  anggota  jemaat  ditanya  apakah  ia pasti akan masuk Sorga, yang bersangkutan tidak bisa menjawab, dan kalau menjawab “pasti”, pun tidak sanggup memberi alasan yang alkitabiah. Anggota jemaat demikian bagaimana  mungkin  bisa  bersaksi kepada umat  agama  lain? Ia  bagaikan  pembawa pelita  yang  tidak  ada  minyak,  karena  ia adalah gadis penyongsong mempelai yang BODOH.

Alasan  GITS  &  RITS  Tidak  Akreditasi
Tentu  kami  sangat  menghormati pemerintah, dan sangat mengasihi negara Republik  Indonesia.  Namun kami  ingin  pemerintah dan negara menyadari bahwa fungsi negara  dan  pemerintah  adalah  mengurus hubungan antara manusia dengan manusia, bukan  mengurus  antara  manusia  dengan Allah. Presiden Gusdur adalah orang Indonesia  yang  sangat  faham  akan  hal  ini, sehingga  beliau  hampir  melikuidasi Departemen  Agama.

Pihak  yang  sangat  membutuhkan Departemen  Agama  adalah  yang  perkembangannya membutuhkan dukungan kekuasaan pemerintahan  duniawi.  Pihak  yang  perkembangannya  sepenuhnya  tergantung pada kebenaran  yang  dikumandangkan tidak  membutuhkan  dukungan  pemerintahan  duniawi.  Bahkan  ketika kekuasaan duniawi  masuk  ikut  campur,  itu  akan  mengkontaminasikan kemurnian kebenaran dan perjuangannya.  Ketika  sebuah  sekolah theologi  diakreditasi  oleh  pemerintah  duniawi, maka ia  berubah dari sekolah theologi sorgawi menjadi sekolah  theologi  duniawi.

Terlebih  lagi  ketika  sebuah  sekolah  meminta  akreditasi dengan tujuan  agar ijazahnya bisa diterima untuk menjadi pegawai negeri.  Sekolah theologi  demikian  posisinya  sama dengan  universitas  sekuler,  atau  bahkan sama  seperti  IPDN  (Institut  Pemerintahan Dalam  Negeri).  Jadi,  GITS  & RITS  tidak diakreditasi  adalah  karena  GITS  &  RITS sekolah  theologi  sorgawi.

Alasan kedua GITS & RITS tidak  mau diakreditasi oleh negara ialah karena fokus GITS maupun RITS adalah  menghasilkan pelayan Tuhan, bukan menghasilkan pegawai  negeri.  Pelayan  Tuhan  sejati  tidak membutuhkan  ijazah  yang  diakui  oleh negara,  melainkan  pengetahuan  theologi yang alkitabiah dan kemampuan akademik yang  tinggi.  Pelayan  Tuhan  sejati  dapat memberi jawab  kepada  siapa  saja  tentang keyakinan  imannya  (I  Pet.3:15).  Artinya, pelayan Tuhan  yang  sejati  sanggup  melayani tanya-jawab  bahkan sanggup  berargumentasi  atau  berdebat.  T etapi  tidak  sanggup  bertengkar  apalagi  memaki-maki orang  jika  kalah  berdebat.

Alasan ketiga GITS & RITS tidak  mau diakreditasi  oleh  negara  duniawi  ialah bahwa jemaat  tidak  rela  uang persembahan mereka dipakai untuk menghasilkan pegawai  negeri.  GITS  & RITS  dibangun  dan disuport  dengan  dana  persembahan,  dan jemaat  mengharapkan  alumni  GITS  & RITS sepenuhnya  melayani Tuhan.  Kebanyakan,  atau  bahkan  semua,  mahasiswa GITS  & RITS  mendapatkan  atau  menikmati dana beasiswa. Semua orang yang ingin  melayani  Tuhan  dengan  tulus  dan murni  sekalipun  tidak  ada  uang,  silakan datang  ke  GITS  atau  RITS.  Jika  yang bersangkutan  memenuhi  syarat  akademis, maka  ia  akan  diterima.

Pembaca bisa bayangkan, jika  GITS & RITS  memberikan  ijazah  akreditasi  maka akan  ada  ratusan  bahkan  mungkin  ribuan orang  mencoba menjadi mahasiswa GITS atau  RITS. Sebab,  selain  mutu akademiknya sangat tinggi, sekolahnya gratis. Demi menyaring agar uang persembahan jemaat hanya  untuk  membiayai  orang yang sungguh-sungguh  mau  melayani  Tuhan, maka  kami  tidak  mau  diakreditasi.  Tetapi kami  tetap  menjaga bahkan semakin meningkatkan mutu akademik. Kami bahkan ingin  menjadikan  faktor  tidak akreditasi  sebagai  penyaring  untuk  memisahkan  antara  orang  yang  mau  mencari karier dengan yang sungguh-sungguh mau melayani  Tuhan.  Kami  sadar  sesadar-sadarnya  bahwa  hanya  jika  ada  sekolah theologi  yang  baik  dan  benar  baru  akan  ada gereja  yang  baik  dan  benar.  Anda setuju?***

Sumber: Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 76, Juli-September 2013, Suhento Liauw, Th.D

Remnant International Theological Seminary (RITS) Adalah Sebuah Berkat Bagi Orang Kal-Bar. Karena, Jika  Anda Sungguh Terpanggil Dan Rajin, Anda Bisa Belajar Hingga Tingkat Doktor Tanpa Bayar. Jadi, Sama Sekali Tidak Ada Penghalang Masalah Dana.

Tidak ada komentar: