Di depan telah kita bahas tentang anggota jemaat yang tidak mengerti sekalipun doktrin fundamental kekristenan yang paling sederhana, pemimpin pemuda yang tidak tahu apakah ia pasti masuk Sorga atau tidak. Siapakah sesungguhnya yang bersalah dalam keterpurukan gereja? Kalau kebanyakan anggota jemaat sebuah gereja tidak tahu apa-apa, sesungguhnya siapakah yang bersalah?
Ketika seorang anggota jemaat ditanya, apakah orang Kristen yang lahir baru jatuh ke dalam dosa perzinahan ia akan masuk Neraka? Apakah orang Kristen lahir baru karena cinta pindah agama ia akan tetap masuk Sorga? Kalau ia tidak bisa menjawab kecuali berkata, “entah ya...saya kurang tahu, karena Gembala saya tidak pernah menyinggung hal itu.” Atas jawaban demikian, siapakah yang salah? Lalu kita lanjutkan, “lalu tiap minggu apa isi khotbahnya?” Bagaimana kalau ia menjawab, “isi khotbahnya ya sekitar uang, berkat, dan tentang hidup harus kudus, harus rajin ke gereja.” Jika kebanyakan anggota jemaat tidak mengerti kebenaran hingga yang paling sederhana, itu adalah karena Gembalanya memang tidak mengerti kebenaran.
Tujuan Masuk Sekolah Theologi
Di dalam artikel Gereja Yang Tidak Jelas Posisinya saya katakan bahwa kepala benang kusut dari kondisi gereja yang semakin berputar ke bawah ialah karena gereja memiliki doktrin yang salah namun mereka tidak mau melepaskannya, lalu mereka berusaha untuk menghindarkan anggota jemaat mereka dari pembahasan doktrin. Gereja mereka telah puluhan tahun melakukan kesalahan itu, dan kesalahan itu telah menjadi kebudayaan bahkan telah menjadi salah satu ciri-khas gereja mereka.
Ketika seorang anggota jemaat ditanya, apakah orang Kristen yang lahir baru jatuh ke dalam dosa perzinahan ia akan masuk Neraka? Apakah orang Kristen lahir baru karena cinta pindah agama ia akan tetap masuk Sorga? Kalau ia tidak bisa menjawab kecuali berkata, “entah ya...saya kurang tahu, karena Gembala saya tidak pernah menyinggung hal itu.” Atas jawaban demikian, siapakah yang salah? Lalu kita lanjutkan, “lalu tiap minggu apa isi khotbahnya?” Bagaimana kalau ia menjawab, “isi khotbahnya ya sekitar uang, berkat, dan tentang hidup harus kudus, harus rajin ke gereja.” Jika kebanyakan anggota jemaat tidak mengerti kebenaran hingga yang paling sederhana, itu adalah karena Gembalanya memang tidak mengerti kebenaran.
Tujuan Masuk Sekolah Theologi
Di dalam artikel Gereja Yang Tidak Jelas Posisinya saya katakan bahwa kepala benang kusut dari kondisi gereja yang semakin berputar ke bawah ialah karena gereja memiliki doktrin yang salah namun mereka tidak mau melepaskannya, lalu mereka berusaha untuk menghindarkan anggota jemaat mereka dari pembahasan doktrin. Gereja mereka telah puluhan tahun melakukan kesalahan itu, dan kesalahan itu telah menjadi kebudayaan bahkan telah menjadi salah satu ciri-khas gereja mereka.
Tetapi ketika seseorang memasuki pendidikan theologi, bukankah sepatutnya di situ ia akan mempelajari segala sesuatu yang benar, atau setidak-tidaknya ia memasuki suasana menyelidiki Kitab Suci. Tetapi mengapakah hari ini kita dapatkan banyak sekolah theologi tidak memberi ruang kepada mahasiswa mereka untuk bertanya. Banyak dosen tidak siap untuk dikonfrontir mahasiswa muda, kritis yang penuh idealisme. Jawabannya karena telah bergenerasi-generasi tradisi sekolah theologi bukan tempat bagi jiwa yang penuh rasa ingin tahu. Sekolah theologi berevolusi sesuai dengan tuntutan atau keinginan para mahasiswa dan gereja yang mengirim mereka.
Misalnya, karena gereja yang mengirim mereka adalah gereja yang melakukan pembaptisan bayi, yang juga adalah gereja pendukung secara finansial terhadap sekolah, maka pihak sekolah mengambil kebijaksanaan untuk tidak membahas hal-hal yang sifatnya bisa menyalahkan gereja pendukungnya. Jadi, mahasiswa bersekolah bukan untuk mencari kebenaran atau menyelidiki firman Tuhan, melainkan untuk memenuhi kebutuhan proses regenerasi kepemimpinan denominasi gerejanya. Setelah yang bersangkutan lulus, ia pasti hanya sekedar beo atau tape-recorder yang sifatnya menyampaikan apa yang didengarnya bukan yang benar menurutnya. Tidak ada pendalaman pengetahuan, atau adu argumentasi apalagi berdebat untuk mendapatkan kebenaran. Belakangan ini tambah parah lagi karena pemerintah menaikkan budget bidang pendidikan sehingga gaji guru meningkat, dan banyak orang Kristen ikut tergiur untuk menjadi guru agama Kristen. Para mahasiswa theologi yang bukan mau menjadi pelayan Tuhan melainkan menjadi guru agama tentu tidak memasalahkan kebenaran theologi yang diajarkan kepadanya melainkan asal sekolah tersebut diakui oleh pemerintah atau terakreditasi.
Karena masuk sekolah theologi bukan untuk mempelajari kebenaran, melainkan untuk sekedar regenerasi kepemimpinan atau untuk karier pekerjaan, maka sekolah theologi ikut terpengaruh sehingga berevolusi mengikuti kebutuhan zaman. Idealisme kebenaran menjadi relatif bagi mereka karena yang mereka kejar dan harapkan bukan kebenaran melainkan pengakuan gereja dan pemerintah. Pertanyaan yang relevan bukan apakah theologinya benar sesuai dengan Alkitab dan akal sehat, melainkan apakah sesudah tamat nanti bisa diterima oleh gereja dan sekolah. Akhirnya sekolah theologi bukan lagi milik Tuhan yang menghasilkan hamba Tuhan, melainkan milik negara yang menghasilkan pegawai negeri.
Tujuan Utama Sekolah Theologi
Tuhan tidak pernah berkata bahwa Ia akan mendirikan sekolah theologi, panti asuhan, rumah sakit, panti werda dan lain sebagainya. Tuhan hanya berkata bahwa Ia akan membangun jemaatNya (Mat.16:16-18). Sejumlah orang yang beriman kepada-Nya berkumpul secara rutin membentuk suatu komunitas atau perkumpulan yang berdiri teguh atas firmanNya, serta melaksanakan kehendakNya. Kumpulan orang ini disebut jemaat dari Allah yang hidup, tiang penopang dan dasar kebenaran. Jemaat dari Allah yang hidup ini adalah pusat kebenaran dari Sorga, bahkan seperti sebuah kantor konsulat sorgawi. Semua yang dilakukan di sebuah jemaat lokal alkitabiah bukan hanya menjadi pusat perhatian manusia di bumi, bahkan menjadi perhatian malaikat di Sorga (Ef.3:10).
Jemaat lokal yang alkitabiah, yang menjadi tiang kebenaran dan dasar kebenaran, tidak tunduk kepada kuasa apapun, bahkan kuasa alam maut sekalipun. Sebab, bagaimana mungkin sebuah jemaat yang tunduk kepada pemerintah duniawi bisa mengumandangkan kebenaran bagi pemerintah-pemerintah di dunia, dan penguasa-penguasa di Sorga? Sebagai pribadi orang Kristen yang menjadi warga negara sebuah negara di dunia, kita harus tunduk kepada hukum positif sebuah negara. Tetapi jemaat dari Allah yang hidup hanya tunduk kepada Allah yang hidup SAJA.
Dalam melaksanakan tugasnya maka jemaat dari Allah yang hidup mendirikan sekolah theologi, panti asuhan, rumah sakit dan lain-lain. Semua para-church tersebut harus di bawah kendali jemaat lokal yang mendirikannya. Karena sekolah theologi adalah proyek jemaat lokal, dan bertujuan mencetak tenaga pelayan jemaat lokal, tentu sekolah theologi demikian tidak membutuhkan akreditasi dari pemerintah. Bahkan akreditasi dari pemerintah akan akan menurunkan reputasinya dari sekolah theologisorgawi menjadi sekolah theologi duniawi atau sekolah theologi yang menghasilkan pelayan Tuhan menjadi sekolah theologi yang menghasilkan pegawai negeri.
Pengaruh Sekolah Theologi Terhadap Gereja
Pada artikel sebelumnya pembaca telah saya ajak melihat keadaan gereja yang berputar ke bawah (spiral-down). Orang yang paling bertanggung jawab atas keadaan gereja yang berputar ke bawah itu ialah pengajar firman di gereja tersebut. Dan pengajar firman di sebuah gereja tentu adalah hasil produksi dari sebuah sekolah theologi.
Akhirnya dapat kita rangkai sebab akibat keadaan gereja yang berputar ke bawah sebagai berikut. Orang Kristen di sebuah gereja tidak diajar sebagaimana mestinya oleh Gembalanya. Mengapakah bisa demikian? Sebab, Gembalanya memang tidak memiliki pengetahuan doktrinal yang cukup. Mengapakah bisa demikian? Sebab, ia belajar di sekolah theologi yang para dosennya adalah orang-orang yang tidak memiliki pengetahuan doktrinal yang cukup bahkan tidak memiliki tingkat akademik yang memadai. Mengapakah bisa demikian, bukankah mereka memiliki titel yang tinggi, misalnya Master of Theology dan bahkan Doctor of Theology?
Jawabannya, karena ada banyak sekolah theologi yang pada dasarnya adalah didirikan untuk menjual ijazah. Mengapakah bisa ada sekolah theologi yang menjual ijazah terakreditasi? Jawabannya, karena gereja-gereja dan sekolah-sekolah mengharuskan Gembala dan Guru mereka memiliki ijazah yang terakreditasi sehingga ada pihak yang melihat peluang bisnis di situ. Mengapakah bisa demikian? Jawabannya, karena orang Kristen tidak cukup rohani melainkan sangat duniawi sehingga tidak sanggup menilai perkara-perkara rohani dan tidak mengutamakan perkara rohani. Mengapakah bisa demikian? Jawabannya, karena para Gembala mereka tidak mengajar dan membawa anggota jemaat dan orang-orang Kristen mengerti perkara rohani dan doktrinal dengan baik. Mengapakah bisa demikian, karena mereka sekolah di sekolah theologi yang asal-asalan saja. Pembaca pasti bisa bertanya terus dan jawaban serta pertanyaan akan berputar terus karena gereja dan sekolah theologi saling mempengaruhi.
Untuk memutus rantai jerat keadaan gereja yang berputar ke bawah, diperlukan tindakan berani dan tegas. Harus ada orang yang berani mengajar kepada anggota jemaat perkara doktrinal yang alkitabiah, dan gereja harus berjalan di atas prinsip-prinsip sesuai dengan Alkitab. Segala sesuatu yang tidak alkitabiah, bahkan tradisi yang mungkin telah puluhan bahkan ratusan tahun, yang telah mendarah-daging, harus berani disingkirkan dengan alasan tidak alkitabiah.
Gereja yang alkitabiah mendirikan sekolah theologi yang alkitabiah. Sebuah sekolah theologi yang dengan setia dan jujur mengajarkan kebenaran. Segala macam doktrin dari berbagai denominasi dikupas, diselidiki dengan seksama dengan tidak memihak denominasi manapun. Doktrin yang tidak bisa dipertahankan dengan argumentasi harus gugur.
Sekolah theologi harus menjadi laboratorium rohani, selalu melakukan research untuk mendalami doktrin berbagai denominasi dan mendapatkan doktrin yang paling benar, yaitu yang paling mampu bertahan terhadap berbagai serangan argumentasi. Mahasiswa dibiasakan untuk bersikap kritis, bukan penurut melainkan penyelidik yang haus akan kebenaran. Sikap membela kebenaran, bukan membela denominasi dan tradisi ditumbuhkan di dalam hati para mahasiswa. Ketika mereka tamat nanti mereka akan menjadi pahlawan kebenaran, bukan pencari kerja. Mereka adalah pembela kebenaran, bahkan orang-orang yang siap mati bagi kebenaran. Hanya dengan cara demikianlah maka keadaan gereja yang berputar ke bawah (spiral-down) bisa dita-han, bahkan diubah menjadi berputar ke atas (spiral up).
Diperlukan orang-orang yang jujur, tulus dan berani untuk menolong gereja-gereja bangkit. Lihatlah, gereja-gereja di Indonesia telah kehilangan kesaksian. Di wilayah-wilayah kantong Kristen justru penuh dengan pemabok. Anggota-anggota jemaat tidak mengerti doktrin, bahkan Doktrin Keselamatan yang adalah doktrin inti kekristenan tidak difahami. Karena kalau anggota jemaat ditanya apakah ia pasti akan masuk Sorga, yang bersangkutan tidak bisa menjawab, dan kalau menjawab “pasti”, pun tidak sanggup memberi alasan yang alkitabiah. Anggota jemaat demikian bagaimana mungkin bisa bersaksi kepada umat agama lain? Ia bagaikan pembawa pelita yang tidak ada minyak, karena ia adalah gadis penyongsong mempelai yang BODOH.
Alasan GITS & RITS Tidak Akreditasi
Tentu kami sangat menghormati pemerintah, dan sangat mengasihi negara Republik Indonesia. Namun kami ingin pemerintah dan negara menyadari bahwa fungsi negara dan pemerintah adalah mengurus hubungan antara manusia dengan manusia, bukan mengurus antara manusia dengan Allah. Presiden Gusdur adalah orang Indonesia yang sangat faham akan hal ini, sehingga beliau hampir melikuidasi Departemen Agama.
Pihak yang sangat membutuhkan Departemen Agama adalah yang perkembangannya membutuhkan dukungan kekuasaan pemerintahan duniawi. Pihak yang perkembangannya sepenuhnya tergantung pada kebenaran yang dikumandangkan tidak membutuhkan dukungan pemerintahan duniawi. Bahkan ketika kekuasaan duniawi masuk ikut campur, itu akan mengkontaminasikan kemurnian kebenaran dan perjuangannya. Ketika sebuah sekolah theologi diakreditasi oleh pemerintah duniawi, maka ia berubah dari sekolah theologi sorgawi menjadi sekolah theologi duniawi.
Terlebih lagi ketika sebuah sekolah meminta akreditasi dengan tujuan agar ijazahnya bisa diterima untuk menjadi pegawai negeri. Sekolah theologi demikian posisinya sama dengan universitas sekuler, atau bahkan sama seperti IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri). Jadi, GITS & RITS tidak diakreditasi adalah karena GITS & RITS sekolah theologi sorgawi.
Alasan kedua GITS & RITS tidak mau diakreditasi oleh negara ialah karena fokus GITS maupun RITS adalah menghasilkan pelayan Tuhan, bukan menghasilkan pegawai negeri. Pelayan Tuhan sejati tidak membutuhkan ijazah yang diakui oleh negara, melainkan pengetahuan theologi yang alkitabiah dan kemampuan akademik yang tinggi. Pelayan Tuhan sejati dapat memberi jawab kepada siapa saja tentang keyakinan imannya (I Pet.3:15). Artinya, pelayan Tuhan yang sejati sanggup melayani tanya-jawab bahkan sanggup berargumentasi atau berdebat. T etapi tidak sanggup bertengkar apalagi memaki-maki orang jika kalah berdebat.
Alasan ketiga GITS & RITS tidak mau diakreditasi oleh negara duniawi ialah bahwa jemaat tidak rela uang persembahan mereka dipakai untuk menghasilkan pegawai negeri. GITS & RITS dibangun dan disuport dengan dana persembahan, dan jemaat mengharapkan alumni GITS & RITS sepenuhnya melayani Tuhan. Kebanyakan, atau bahkan semua, mahasiswa GITS & RITS mendapatkan atau menikmati dana beasiswa. Semua orang yang ingin melayani Tuhan dengan tulus dan murni sekalipun tidak ada uang, silakan datang ke GITS atau RITS. Jika yang bersangkutan memenuhi syarat akademis, maka ia akan diterima.
Pembaca bisa bayangkan, jika GITS & RITS memberikan ijazah akreditasi maka akan ada ratusan bahkan mungkin ribuan orang mencoba menjadi mahasiswa GITS atau RITS. Sebab, selain mutu akademiknya sangat tinggi, sekolahnya gratis. Demi menyaring agar uang persembahan jemaat hanya untuk membiayai orang yang sungguh-sungguh mau melayani Tuhan, maka kami tidak mau diakreditasi. Tetapi kami tetap menjaga bahkan semakin meningkatkan mutu akademik. Kami bahkan ingin menjadikan faktor tidak akreditasi sebagai penyaring untuk memisahkan antara orang yang mau mencari karier dengan yang sungguh-sungguh mau melayani Tuhan. Kami sadar sesadar-sadarnya bahwa hanya jika ada sekolah theologi yang baik dan benar baru akan ada gereja yang baik dan benar. Anda setuju?***
Sumber: Jurnal Teologi PEDANG ROH Edisi 76, Juli-September 2013, Suhento Liauw, Th.D
Remnant International Theological Seminary (RITS) Adalah Sebuah Berkat Bagi Orang Kal-Bar. Karena, Jika Anda Sungguh Terpanggil Dan Rajin, Anda Bisa Belajar Hingga Tingkat Doktor Tanpa Bayar. Jadi, Sama Sekali Tidak Ada Penghalang Masalah Dana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar