1. Kebenaran diwahyukan oleh Allah. Kebenaran tidak ditemukan oleh individu atau komunitas. Berbagai kepercayaan mungkin merupakan hasil dari temuan manusia atau kalompok, tetapi kebenaran berasal dari pernyataan Allah yang berpribadi dan bermoral, yang membuat diri-Nya diketahui. Surat Paulus kepada jemaat Roma, misalnya,membari tahu kita bahwa Allah telah membuat diri-Nya dapat diketahui, baik melalui ciptaan maupun hati nurani manusia, sehingga semua manusia tidak bisa berkilah dihadapan Pencipta dan Pemberi hukum mereka (2:14-15). Orang-orang yang menindas kebenaran yang diwahyukan ini telah membuat berhala dalam kefasikan (1:18) dan bukan menyembah Allah (1:21-25), dengan melakukan hal ini, "mereka menggantikan kebenaran Allah dengan dusta" (1:25). Dusta menjadi berhala, dan setiap berhala mengaburkan kebenaran. Ini karena semua berhala tidak nyata dan menipu. Semua berhala hanyalah konstruksi sosial yang memilukan dan tidak benar atas apa yang kudus.
Selain mewahyukan diri-Nya secara umum melalui ciptaan dari hati nurani, Allah telah mewahyukan kebenaran akan keselamatan melalui karya-karya- Nya yang dahsyat dalam sejarah, inkarnasi dan ke-66 kitab di dalam Alkitab. Surat Ibrani menyatakan sifat dari wahyu Allah, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pdang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita" (Ibr. 4:12). Firman Allah merupakan wahyu dari Keberadaan yang transenden, kudus, dan komunikatif dan dengan demikian, memiliki dinamisme mental yang melampaui psikologi, sosiologi, dan politik dari pembacanya, meskipun firman Allah disampaikan melalui budaya dari konteks aslinya. Bagi Paulus, Alkitab diilhami secara ilahi, "segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2Tim.3:16). Firman Tuhan bukan hanya bermanfaat secara praktis, ia juga benar secara teoritis (Yoh.17:17). Allah telah mewahyukan kebenaran kepada kita, dan bukan hanya diri-Nya sendiri.
2. Kebenaran objektif bereksistensi dan bisa diketahui. Klaim bahwa Allah telah mewahyukan diri kepada kita menawarkan kebenaran objektif sebagai isi yang kognitif dari wahyu. Allah merupakan sumber dari kebenaran objektif tentang diri-Nya sendiri dan tentang ciptaan-Nya. Tidak hanya itu, kebenaran juga bersifat objektif karena Allah, dikarenakan karakter dan kehendak-Nya, merupakan tingkat banding tertinggi, sumber dari segala kebenaran. Kebenaran objektif merupakan kebenaran yang tidak tergantung pada peraaan, hasrat, dan kepercayaan subjektif suatu ciptaan manapun. Paulus menyatakan hal ini ketika dia membahas ketidak percayaan sejumlah orang Yahudi, "Jadi bagaimana, jika diantara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak! Sebaliknya; Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong" (Rm.3:3-4). Kebenaran Allah tidak tergantung pada pengalaman atau interpretasi individu atau kelompok manapun, betapapun pengalaman dan interpretasi itu terasa kuat, populer dan berpengaruh besar secara budaya.
Penekanan alkitabiah akan kebenaran objektif tidak mengecilkan keharusan untuk menjadikan kebenaran Allah sebagai milik pribadi secara subjektif dan eksistensial; sebaliknya, penekanan ini mempertajam dan memperdalam kebutuhan akan pengalaman pribadi yang autentik. Percaya pada kebenaran objektif tidak berarti bahwa seseorang bersikap netral atau tidak memihak terhadap kebenaran itu. Kebenaran, khususnya kebenaran Injil yang menyelamatkan dan menguduskan, merupakan perkara yang sangat besar. Iman alkitabiah meliputi persetujuan atas doktrin yang benar (yang didapatkan dari wahyu Alkitab), sebagai unsur mutlak dari iman yang menyelamatkan dan pertumbuhan di dalam Kristus. Tetapi iman yang alkitabiah juga menuntut kepercayaan dan komitmen kepada kebenaran yang telah disetujuinya itu.
Objektivitas kebenaran Allah juga tidak mengurangi realitas gereja sebagai komunitas orang-orang percaya yang interaktif dan saling bergantung. Gereja, sebagai komunitas milik Allah, dilahirkan melalui kebenaran dan dibentuk oleh kebenaran itu. Maka, Paulus menyebut gereja sebagai "tiang penopang dan dasar kebenaran" (1Tim. 3:15). Dia juga berharap agar gereja menjadi dewasa sampai taraf dimana para anggotanya "mengatakan kebenaran di dalam kasih diantara sesama (Ef. 4:15). Ibadah, pengajaran, khotbah, persekutuan. perjangkauan keluar dan pelayanan gereja harus dipusatkan pada kebenaran yang diwahyukan dan yang objektif itu, sebagai dinamikanya yang menyatukan dan mendorong. Seperti Kristus sendiri, tubuh Kristus harus `memberi kesaksian tentang kebenaran" (Yoh. 18:38)
3. Kebenaran Kristen bersifat mutlak dalam naturnya. Hal ini berarti kebenaran Allah tidak berubah-ubah. Kebenaran Allah adalah benar tanpa pengecualian. Kebenaran Allah juga tidak bersifat relatif, dapat berubah atau bisa diperbaiki. Cuaca bisa berubah, tetapi Allah tidak.
Satu teks klasik tentang kemutlakan kebenaran adalah pernyataan Yesus yang tidak bisa dikompromikan. "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, Tidak ada seorang pun yang dating kapada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh. 14:6). Tidak ada pengecualian dari klaim ini: hanya ada satu jalan kepada Bapa – Yesus sendiri. Menghadapi pluralisme di dunia Mediteranian kuno, Paulus dengan berani mengatakan hal berikut di dalam diskusinya mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala:
Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." Sebab sungguh pun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup. (1Kor. 8:4-6)
Kebenaran Injil tidak tunduk kepada veto siapa pun atau kepada prosedur demokratis apa pun. Yesus tidak diangkat menjadi Tuhan oleh manusia melainkan dipilih oleh Allah; Ia juga tak bisa diturunkan dari tahta-Nya oleh upaya, opini, atau pemberontakan manusia mana pun. Yesus menyatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal" (Yoh. 3:16). Yesus adalah satu-satunya Anak, tanpa ada yang lain setara.
Meski demikian, kebenaran mutlak Yesus Kristus membebaskan manusia yang bisa berbuat salah dan yang penuh kebutuhan ini, dari kebingungan yang ditimbulkan oleh banyaknya klaim religius yang saling bertentangan. Allah terfokus di dalam Yesus dan bukan terserak di seluruh peta. Ada satu jalan untuk keluar dari labirin (lika-liku) spiritual – jika orang memandang pada salib. Seperti yang dikatakan Yesus, "Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya berolah hidup kekal" (Yoh. 3: 14-15).
4. Kebenaran bersifat universal. Bersifat universal berarti terterapkan di mana saja, meliputi apa pun dan tidak meluputkan apa pun. Pesan Injil dan hukum moral Allah tidak dikurung atau dibatasi oleh kondisi-kondisi budaya. Rasul Petrus berkata, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kis. 4:12). Hal ini meliputi setiap orang dan tidak meluputkan satu orang pun. Keselamatan ditawarkan kepada seluruh manusia, bukan hanya pada satu kelompok orang tertentu. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada" (Ef. 1:21-22). Jangkauan otoritas Kristus tidak terbatas. Paulus memperluas hal ini dalam hymne kristologisnya yang menyatakan bahwa karena Kristus Yesus, yang meskipun "dalam rupa Allah," mengosongkan diri-Nya untuk datang ke dunia demi keselamatan kita, Allah Bapa "mengaruniakan kepada-Nya nama diatas segala nama." Dalam terang inilah "segala lutut bertekuk" dan "segala lidah mengaku: Yesus kristus adalah Tuhan" (Flp. 2:6, 9-10).
5. Kebenaran Allah berlaku secara kekal dan penting, bukannya trendi. Di zaman postmodern, lingkungan kita dipenuhi dengan gambar-gambar yang terang, kata-kata yang kacau dan kebisingan yang menyilaukan – semua berlomba mendapatkan perhatian (dan uang) kita. Gaya sesaat, baik di dalam iklan, politik, atau olah raga, datang dan pergi dengan kecepatan yang semakin tinggi. Tampaknya tak ada satu hal pun yang mapan, berakar, atau stabil melintasi waktu. Di dalam bukunya The Culture of Disbelief: How American Law and Politics trivialize Religious Devotion (1993), Stephen Carter meratap bahwa bagi banyak orang (dan Negara), agama hanya seperti hobi, hal yang bisa menyenangkan diri, suatu rasa ingin tau ketika mood untuk itu muncul, tetapi bukan hal yang harus dianggap serius.
Tetapi melampaui semua hal yang hanya bertahan sesaat itu, terdapat "Batu Karang Zaman." Melampaui kerapuhan selera yang terus berganti, pacuan hobi dan fluktuasi pasar, berdirilah Firman Tuhan yang teguh dan berakar di dalam Allah yang kekal, Penguasa alam semesta. "Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi Firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya" (Yes. 40:8). "Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga" (Mzm. 119:89). Dan seperti dinyatakan Allah kepada umat-Nya yang pemberontak, "Aku, TUHAN, tidak berubah" (Mal. 3:6; lihat juga Ibr, 13:8). Allah tetap setia pada janji-Nya terhadap ciptaan-Nya dan kepada komunitas-Nya dan yang dipanggil-Nya itu. Firman-Nya bertahan dan bisa diandalkan, dari zaman ke zaman.
Kebenaran Allah didasarkan pada keberadaan Allah yang kekal. Kebenaran-Nya ini tak memiliki tanggal kedaluwarsa dan tak memerlukan pembaharuan apapun. Selain itu, kebenaran Allah adalah kebenaran yang hidup, personal, dan dinamis – kebenaran yang melampaui keremeh-temehan yang berubah-ubah dari zaman kita, dan menyentuh keberadaan kita dalam tingkat terdalam, dengan mengikut sertakan kita di dalam drama yang kekal. Kebenaran ini mengubah kita, seperti diketahui dengan baik oleh Daud, "Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau" (Mzm. 119:11).
Seperti ungkapan Soren Kierkegaard, orang-orang Kristen hidup "dibawah audit kekekalan" dan di dalam perubahan-perubahan drama illahi. Setiap hal adalah penting, ketika dilihat di bawah audit kekal. Dan jauh dari keremehan, kebenaran Allah yang diungkapkan pada planet pemberontak ini, terus-mererus berlaku dan terus-mererus bersifat controversial. Karena itu, para pengikut Yesus terlibat dalam perdebatan besar untuk merebut hati dan pikiran makhluk-makhluk kekal ini. Taruhannya tidak terbatas, para partisipannya berharga. Allah yang kekal menawarkan hidup kekal melalui "darah Kristus" yang "telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat" dan "menerima bagian kekal yang dijanjikan" (Ibr. 9:14-15). Kebenaran tidak bisa mati, tetapi "kematian kedua" menantikan orang-orang yang menolak kebenaran Allah yang menyelamatkan itu (Why. 21:8).
6. Kebenaran bersifat eksklusif, spesifik dan antitetis. Bagi satu "ya" teologis terdapat jutaan "tidak." Apa yang benar menyingkirkan semua hal yang bertentangan dengannya. Inilah alasan Allah menyatakan, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" (Kel. 20:3). Jika hanya ada satu Allah sejati, semua pihak yang mengklain sebagai allah adalah palsu. Logika antitesis yang tak bisa ditawar-tawar juga terdapat dibalik ucapan Yesus yang menakutkan, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju pada kebinasaan, banyak orang yang masuk melaluinya" (Mat. 7:13). Kebenaran adalah tepat dan persis, dan penyimpangan sedikit saja dari kebenaran berarti menggantikan kebenaran dengan kesalahan. Ketepatan di dalam kebenaran haruslah menjadi tujuan kita, meskipun itu tidak pernah menjadi pencapaian kita yang sempurna.
Logika kebenaran adalah logika dari hukum (atau prinsip) nonkontradiksi. Misalnya, Jika hanya ada satu Allah, maka tidak mungkin ada lebih dari satu Allah. Prinsip logis ini bukanlah milik unik dari orang Kristen; prinsip ini merupakan kebenaran dari semua ciptaan. Ini adalah cara yang Allah tentukan bagi kita untuk berpikir. Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh sejumlah teolog yang telah menyimpang, iman Kristen tidak mengharuskan kita melampaui hukum logika ini. Meskipun cara-cara Allah melampaui cara-cara kita (Yes. 55:8-9), Allah itu konsisten dan tidak bisa berdusta (Tit. 1:2). Allah tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri atau menyatakan hal yang salah; Dia juga tidak bisa menjadikan satu hal benar dan salah dalam cara yang sama pada waktu yang sama.
Dengan menyatakan bahwa setiap pernyataan faktual dan penyangkalannya tak mungkin benar dua-duanya, maka hukum (atau prinsip) tak ada pilihan tengah memiliki pemahaman esensial yang sama dengan hukum nonkontradiksi. Yehova adalah Tuhan atau dia bukan Tuhan. Tak ada pilihan tengah. Yesus mengasumsikan prinsip ini saat Ia memperingatkan, "tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua Tuhan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."(Mat. 6:24). Sama sekali tidak ada pililan tengah. Dan lagi, kebenaran ini terlalu penting untuk dikompromikan; taruhannya terlalu tinggi, karena hanya ada satu Injil yang bisa menyelamatkan orang berdosa dari hukuman kekal – Injil Yesus Kristus.
7. Kebenaran, dipahami secara Kristen, bersifat sistematis dan utuh. Kebenaran itu satu, sebagaimana Allah itu satu. Semua kebenaran saling berhubungan sebagai ungkapan dari relaitas objektif dan harmonis dari Allah – keberadaan-Nya, pengetahuan- Nya, dan ciptaan-Nya. Hanya ada satu dunia, dunia milik Allah: uni-verse, bukan multi-verse. Di zaman yang puas dengan pengetahuan yang terpecah-pecah dan opini yang saling berkonflik, orang-orang Kristen harus berjuang bagi perspektif kehidupan yang terpadu dengan baik, yang menggemakan kebenaran dimanapun Ia dirumuskan. Francis Schaeffer berkata, "Tidak ada gunanya mengatakan Dia adalah Alfa dan Omega, yang Awal dan Yang Akhir. Tuhan atas segalanya; jika Dia bukanlah Tuhan atas kehidupan intelektual saya yang seutuhnya. Saya salah dan kebingungan jika bernyanyi tentang ketuhanan Kristus sambil berjuang untuk mempertahankan bidang-bidang kehidupan saya sendiri agar tetap otonom."
8. Kebenaran Kristen adalah tujuan akhir, bukan alat untuk mencapai tujuan lain. Kebenaran Kristen harus diidamkan dan didapatkan karena nilainya. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme postmodern, yang mengorupsi kebenaran menjadi fungsi sosial atau pilihan pribadi. Seperti dinyatakan Harry Blamires, "Tidak ada penyimpangan terhadap iman Kristen yang lebih licik jika dibandingkan dengan memperlakukan iman Kristen hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi, betapapun terhormatnya tujuan itu pada dirinya sendiri. Iman Kristen penting karena ia benar."
Agama postmodern menganggap kebenaran sebagai hal yang lentur dan bisa diadaptasikan dengan kebutuhan dan gaya yang dirasakan seseorang. Artinya, kebenaran adalah apa yang berlaku – bagi saya atau kelompok sosial saya (relative). Tetapi iman Kristen mengajarkan bahwa kebenaran berlaku (atau menghasilkan buah rohani) karena ia memang benar.
KEMBALI PADA KEBENARAN
Tanpa suatu pemahaman Alkitab yang menyeluruh dan berakar, orang kristen akan dibungkam oleh budaya disekitarnya atau akan melakukan kompromi-kompromi yang mengerikan dan pada akhirnya menghancurkan kekristenan itu sendiri. (oleh Gbl. Alki Tombuku, GBIA Komunitas Depok)
Selain mewahyukan diri-Nya secara umum melalui ciptaan dari hati nurani, Allah telah mewahyukan kebenaran akan keselamatan melalui karya-karya- Nya yang dahsyat dalam sejarah, inkarnasi dan ke-66 kitab di dalam Alkitab. Surat Ibrani menyatakan sifat dari wahyu Allah, "Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pada pdang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sumsum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita" (Ibr. 4:12). Firman Allah merupakan wahyu dari Keberadaan yang transenden, kudus, dan komunikatif dan dengan demikian, memiliki dinamisme mental yang melampaui psikologi, sosiologi, dan politik dari pembacanya, meskipun firman Allah disampaikan melalui budaya dari konteks aslinya. Bagi Paulus, Alkitab diilhami secara ilahi, "segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2Tim.3:16). Firman Tuhan bukan hanya bermanfaat secara praktis, ia juga benar secara teoritis (Yoh.17:17). Allah telah mewahyukan kebenaran kepada kita, dan bukan hanya diri-Nya sendiri.
2. Kebenaran objektif bereksistensi dan bisa diketahui. Klaim bahwa Allah telah mewahyukan diri kepada kita menawarkan kebenaran objektif sebagai isi yang kognitif dari wahyu. Allah merupakan sumber dari kebenaran objektif tentang diri-Nya sendiri dan tentang ciptaan-Nya. Tidak hanya itu, kebenaran juga bersifat objektif karena Allah, dikarenakan karakter dan kehendak-Nya, merupakan tingkat banding tertinggi, sumber dari segala kebenaran. Kebenaran objektif merupakan kebenaran yang tidak tergantung pada peraaan, hasrat, dan kepercayaan subjektif suatu ciptaan manapun. Paulus menyatakan hal ini ketika dia membahas ketidak percayaan sejumlah orang Yahudi, "Jadi bagaimana, jika diantara mereka ada yang tidak setia, dapatkah ketidaksetiaan itu membatalkan kesetiaan Allah? Sekali-kali tidak! Sebaliknya; Allah adalah benar, dan semua manusia pembohong" (Rm.3:3-4). Kebenaran Allah tidak tergantung pada pengalaman atau interpretasi individu atau kelompok manapun, betapapun pengalaman dan interpretasi itu terasa kuat, populer dan berpengaruh besar secara budaya.
Penekanan alkitabiah akan kebenaran objektif tidak mengecilkan keharusan untuk menjadikan kebenaran Allah sebagai milik pribadi secara subjektif dan eksistensial; sebaliknya, penekanan ini mempertajam dan memperdalam kebutuhan akan pengalaman pribadi yang autentik. Percaya pada kebenaran objektif tidak berarti bahwa seseorang bersikap netral atau tidak memihak terhadap kebenaran itu. Kebenaran, khususnya kebenaran Injil yang menyelamatkan dan menguduskan, merupakan perkara yang sangat besar. Iman alkitabiah meliputi persetujuan atas doktrin yang benar (yang didapatkan dari wahyu Alkitab), sebagai unsur mutlak dari iman yang menyelamatkan dan pertumbuhan di dalam Kristus. Tetapi iman yang alkitabiah juga menuntut kepercayaan dan komitmen kepada kebenaran yang telah disetujuinya itu.
Objektivitas kebenaran Allah juga tidak mengurangi realitas gereja sebagai komunitas orang-orang percaya yang interaktif dan saling bergantung. Gereja, sebagai komunitas milik Allah, dilahirkan melalui kebenaran dan dibentuk oleh kebenaran itu. Maka, Paulus menyebut gereja sebagai "tiang penopang dan dasar kebenaran" (1Tim. 3:15). Dia juga berharap agar gereja menjadi dewasa sampai taraf dimana para anggotanya "mengatakan kebenaran di dalam kasih diantara sesama (Ef. 4:15). Ibadah, pengajaran, khotbah, persekutuan. perjangkauan keluar dan pelayanan gereja harus dipusatkan pada kebenaran yang diwahyukan dan yang objektif itu, sebagai dinamikanya yang menyatukan dan mendorong. Seperti Kristus sendiri, tubuh Kristus harus `memberi kesaksian tentang kebenaran" (Yoh. 18:38)
3. Kebenaran Kristen bersifat mutlak dalam naturnya. Hal ini berarti kebenaran Allah tidak berubah-ubah. Kebenaran Allah adalah benar tanpa pengecualian. Kebenaran Allah juga tidak bersifat relatif, dapat berubah atau bisa diperbaiki. Cuaca bisa berubah, tetapi Allah tidak.
Satu teks klasik tentang kemutlakan kebenaran adalah pernyataan Yesus yang tidak bisa dikompromikan. "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup, Tidak ada seorang pun yang dating kapada Bapa, kalau tidak melalui Aku" (Yoh. 14:6). Tidak ada pengecualian dari klaim ini: hanya ada satu jalan kepada Bapa – Yesus sendiri. Menghadapi pluralisme di dunia Mediteranian kuno, Paulus dengan berani mengatakan hal berikut di dalam diskusinya mengenai makanan yang dipersembahkan kepada berhala:
Tentang hal makan daging persembahan berhala kita tahu: "tidak ada berhala di dunia dan tidak ada Allah lain dari pada Allah yang esa." Sebab sungguh pun ada apa yang disebut "allah", baik di sorga, maupun di bumi dan memang benar ada banyak "allah" dan banyak "tuhan" yang demikian – namun bagi kita hanya ada satu Allah saja, yaitu Bapa, yang dari pada-Nya berasal segala sesuatu dan yang untuk Dia kita hidup, dan satu Tuhan saja, yaitu Yesus Kristus, yang oleh-Nya segala sesuatu telah dijadikan dan yang karena Dia kita hidup. (1Kor. 8:4-6)
Kebenaran Injil tidak tunduk kepada veto siapa pun atau kepada prosedur demokratis apa pun. Yesus tidak diangkat menjadi Tuhan oleh manusia melainkan dipilih oleh Allah; Ia juga tak bisa diturunkan dari tahta-Nya oleh upaya, opini, atau pemberontakan manusia mana pun. Yesus menyatakan, "Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal" (Yoh. 3:16). Yesus adalah satu-satunya Anak, tanpa ada yang lain setara.
Meski demikian, kebenaran mutlak Yesus Kristus membebaskan manusia yang bisa berbuat salah dan yang penuh kebutuhan ini, dari kebingungan yang ditimbulkan oleh banyaknya klaim religius yang saling bertentangan. Allah terfokus di dalam Yesus dan bukan terserak di seluruh peta. Ada satu jalan untuk keluar dari labirin (lika-liku) spiritual – jika orang memandang pada salib. Seperti yang dikatakan Yesus, "Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya berolah hidup kekal" (Yoh. 3: 14-15).
4. Kebenaran bersifat universal. Bersifat universal berarti terterapkan di mana saja, meliputi apa pun dan tidak meluputkan apa pun. Pesan Injil dan hukum moral Allah tidak dikurung atau dibatasi oleh kondisi-kondisi budaya. Rasul Petrus berkata, "Dan keselamatan tidak ada di dalam siapapun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan" (Kis. 4:12). Hal ini meliputi setiap orang dan tidak meluputkan satu orang pun. Keselamatan ditawarkan kepada seluruh manusia, bukan hanya pada satu kelompok orang tertentu. Dan segala sesuatu telah diletakkan-Nya di bawah kaki Kristus dan Dia telah diberikan-Nya kepada jemaat sebagai Kepala dari segala yang ada" (Ef. 1:21-22). Jangkauan otoritas Kristus tidak terbatas. Paulus memperluas hal ini dalam hymne kristologisnya yang menyatakan bahwa karena Kristus Yesus, yang meskipun "dalam rupa Allah," mengosongkan diri-Nya untuk datang ke dunia demi keselamatan kita, Allah Bapa "mengaruniakan kepada-Nya nama diatas segala nama." Dalam terang inilah "segala lutut bertekuk" dan "segala lidah mengaku: Yesus kristus adalah Tuhan" (Flp. 2:6, 9-10).
5. Kebenaran Allah berlaku secara kekal dan penting, bukannya trendi. Di zaman postmodern, lingkungan kita dipenuhi dengan gambar-gambar yang terang, kata-kata yang kacau dan kebisingan yang menyilaukan – semua berlomba mendapatkan perhatian (dan uang) kita. Gaya sesaat, baik di dalam iklan, politik, atau olah raga, datang dan pergi dengan kecepatan yang semakin tinggi. Tampaknya tak ada satu hal pun yang mapan, berakar, atau stabil melintasi waktu. Di dalam bukunya The Culture of Disbelief: How American Law and Politics trivialize Religious Devotion (1993), Stephen Carter meratap bahwa bagi banyak orang (dan Negara), agama hanya seperti hobi, hal yang bisa menyenangkan diri, suatu rasa ingin tau ketika mood untuk itu muncul, tetapi bukan hal yang harus dianggap serius.
Tetapi melampaui semua hal yang hanya bertahan sesaat itu, terdapat "Batu Karang Zaman." Melampaui kerapuhan selera yang terus berganti, pacuan hobi dan fluktuasi pasar, berdirilah Firman Tuhan yang teguh dan berakar di dalam Allah yang kekal, Penguasa alam semesta. "Rumput menjadi kering, bunga menjadi layu, tetapi Firman Allah kita tetap untuk selama-lamanya" (Yes. 40:8). "Untuk selama-lamanya, ya TUHAN, firman-Mu tetap teguh di sorga" (Mzm. 119:89). Dan seperti dinyatakan Allah kepada umat-Nya yang pemberontak, "Aku, TUHAN, tidak berubah" (Mal. 3:6; lihat juga Ibr, 13:8). Allah tetap setia pada janji-Nya terhadap ciptaan-Nya dan kepada komunitas-Nya dan yang dipanggil-Nya itu. Firman-Nya bertahan dan bisa diandalkan, dari zaman ke zaman.
Kebenaran Allah didasarkan pada keberadaan Allah yang kekal. Kebenaran-Nya ini tak memiliki tanggal kedaluwarsa dan tak memerlukan pembaharuan apapun. Selain itu, kebenaran Allah adalah kebenaran yang hidup, personal, dan dinamis – kebenaran yang melampaui keremeh-temehan yang berubah-ubah dari zaman kita, dan menyentuh keberadaan kita dalam tingkat terdalam, dengan mengikut sertakan kita di dalam drama yang kekal. Kebenaran ini mengubah kita, seperti diketahui dengan baik oleh Daud, "Dalam hatiku aku menyimpan janji-Mu, supaya aku jangan berdosa terhadap Engkau" (Mzm. 119:11).
Seperti ungkapan Soren Kierkegaard, orang-orang Kristen hidup "dibawah audit kekekalan" dan di dalam perubahan-perubahan drama illahi. Setiap hal adalah penting, ketika dilihat di bawah audit kekal. Dan jauh dari keremehan, kebenaran Allah yang diungkapkan pada planet pemberontak ini, terus-mererus berlaku dan terus-mererus bersifat controversial. Karena itu, para pengikut Yesus terlibat dalam perdebatan besar untuk merebut hati dan pikiran makhluk-makhluk kekal ini. Taruhannya tidak terbatas, para partisipannya berharga. Allah yang kekal menawarkan hidup kekal melalui "darah Kristus" yang "telah mempersembahkan diri-Nya sendiri kepada Allah sebagai persembahan yang tak bercacat" dan "menerima bagian kekal yang dijanjikan" (Ibr. 9:14-15). Kebenaran tidak bisa mati, tetapi "kematian kedua" menantikan orang-orang yang menolak kebenaran Allah yang menyelamatkan itu (Why. 21:8).
6. Kebenaran bersifat eksklusif, spesifik dan antitetis. Bagi satu "ya" teologis terdapat jutaan "tidak." Apa yang benar menyingkirkan semua hal yang bertentangan dengannya. Inilah alasan Allah menyatakan, "Jangan ada padamu allah lain di hadapan-Ku" (Kel. 20:3). Jika hanya ada satu Allah sejati, semua pihak yang mengklain sebagai allah adalah palsu. Logika antitesis yang tak bisa ditawar-tawar juga terdapat dibalik ucapan Yesus yang menakutkan, "Masuklah melalui pintu yang sesak itu, karena lebarlah pintu dan luaslah jalan yang menuju pada kebinasaan, banyak orang yang masuk melaluinya" (Mat. 7:13). Kebenaran adalah tepat dan persis, dan penyimpangan sedikit saja dari kebenaran berarti menggantikan kebenaran dengan kesalahan. Ketepatan di dalam kebenaran haruslah menjadi tujuan kita, meskipun itu tidak pernah menjadi pencapaian kita yang sempurna.
Logika kebenaran adalah logika dari hukum (atau prinsip) nonkontradiksi. Misalnya, Jika hanya ada satu Allah, maka tidak mungkin ada lebih dari satu Allah. Prinsip logis ini bukanlah milik unik dari orang Kristen; prinsip ini merupakan kebenaran dari semua ciptaan. Ini adalah cara yang Allah tentukan bagi kita untuk berpikir. Bertentangan dengan apa yang diklaim oleh sejumlah teolog yang telah menyimpang, iman Kristen tidak mengharuskan kita melampaui hukum logika ini. Meskipun cara-cara Allah melampaui cara-cara kita (Yes. 55:8-9), Allah itu konsisten dan tidak bisa berdusta (Tit. 1:2). Allah tidak bisa menyangkal diri-Nya sendiri atau menyatakan hal yang salah; Dia juga tidak bisa menjadikan satu hal benar dan salah dalam cara yang sama pada waktu yang sama.
Dengan menyatakan bahwa setiap pernyataan faktual dan penyangkalannya tak mungkin benar dua-duanya, maka hukum (atau prinsip) tak ada pilihan tengah memiliki pemahaman esensial yang sama dengan hukum nonkontradiksi. Yehova adalah Tuhan atau dia bukan Tuhan. Tak ada pilihan tengah. Yesus mengasumsikan prinsip ini saat Ia memperingatkan, "tak seorangpun dapat mengabdi kepada dua Tuhan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Allah dan kepada Mamon."(Mat. 6:24). Sama sekali tidak ada pililan tengah. Dan lagi, kebenaran ini terlalu penting untuk dikompromikan; taruhannya terlalu tinggi, karena hanya ada satu Injil yang bisa menyelamatkan orang berdosa dari hukuman kekal – Injil Yesus Kristus.
7. Kebenaran, dipahami secara Kristen, bersifat sistematis dan utuh. Kebenaran itu satu, sebagaimana Allah itu satu. Semua kebenaran saling berhubungan sebagai ungkapan dari relaitas objektif dan harmonis dari Allah – keberadaan-Nya, pengetahuan- Nya, dan ciptaan-Nya. Hanya ada satu dunia, dunia milik Allah: uni-verse, bukan multi-verse. Di zaman yang puas dengan pengetahuan yang terpecah-pecah dan opini yang saling berkonflik, orang-orang Kristen harus berjuang bagi perspektif kehidupan yang terpadu dengan baik, yang menggemakan kebenaran dimanapun Ia dirumuskan. Francis Schaeffer berkata, "Tidak ada gunanya mengatakan Dia adalah Alfa dan Omega, yang Awal dan Yang Akhir. Tuhan atas segalanya; jika Dia bukanlah Tuhan atas kehidupan intelektual saya yang seutuhnya. Saya salah dan kebingungan jika bernyanyi tentang ketuhanan Kristus sambil berjuang untuk mempertahankan bidang-bidang kehidupan saya sendiri agar tetap otonom."
8. Kebenaran Kristen adalah tujuan akhir, bukan alat untuk mencapai tujuan lain. Kebenaran Kristen harus diidamkan dan didapatkan karena nilainya. Hal ini bertentangan dengan pragmatisme postmodern, yang mengorupsi kebenaran menjadi fungsi sosial atau pilihan pribadi. Seperti dinyatakan Harry Blamires, "Tidak ada penyimpangan terhadap iman Kristen yang lebih licik jika dibandingkan dengan memperlakukan iman Kristen hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan duniawi, betapapun terhormatnya tujuan itu pada dirinya sendiri. Iman Kristen penting karena ia benar."
Agama postmodern menganggap kebenaran sebagai hal yang lentur dan bisa diadaptasikan dengan kebutuhan dan gaya yang dirasakan seseorang. Artinya, kebenaran adalah apa yang berlaku – bagi saya atau kelompok sosial saya (relative). Tetapi iman Kristen mengajarkan bahwa kebenaran berlaku (atau menghasilkan buah rohani) karena ia memang benar.
KEMBALI PADA KEBENARAN
Tanpa suatu pemahaman Alkitab yang menyeluruh dan berakar, orang kristen akan dibungkam oleh budaya disekitarnya atau akan melakukan kompromi-kompromi yang mengerikan dan pada akhirnya menghancurkan kekristenan itu sendiri. (oleh Gbl. Alki Tombuku, GBIA Komunitas Depok)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar