Sabtu, 21 November 2009

Sekolah Theologi Fuller: Kompromistis Menuju Kesesatan

Disadur oleh: Hasan Karman, S.H.,M.M. (Walikota Singkawang, Kal-Bar)

Latar Belakang

Sekolah Theologi Fuller (Fuller Theological Seminary), selanjutnya kita sebut Fuller, mempunyai pengaruh yang sangat besar. Ketika didirikan tahun 1947 mereka meyakini Alkitab adalah sempurna (infallibly), tiada salah (inerrantly), verbal, dan merupakan inspirasi penuh (plenary inspired), namun dalam waktu singkat semua itu sudah ditinggalkan. Fuller segera berkembang menjadi Injili Baru yang kompromistis, menerima doktrin yang netral, positivisme, dan mengagungkan intelektual.

Pimpinannya yang pertama, Harold John Ockenga, mengklaim sebagai penemu istilah “New Evangelicalism” (Injili Baru) dalam sebuah pertemuan seminari tersebut pada 1948. Ockenga menyatakan bahwa Injili Baru “berbeda dengan fundamentalisme yang menolak separatisme.” Sebenarnya, menolak “separatisme” sama artinya dengan menolak Alkitab!

Pimpinan Fuller yang sekarang, Richard Mouw mengatakan: “Sejak awal, sekolah menghindari separatisme dan dispensasionalisme yang menyertai fundamentalisme 1940-an, dan menerima sikap yang lebih damai” (Christianity Today, 6 Oktober 1997).

Karena sejak didirikan sudah menolak separasi alkitabiah, tetapi menerima filosofi dialog dan penyusupan yang tidak alkitabiah, tidak heran jika Fuller segera terjangkit keduniawian dan kefasikan.

Pada 1955, Fuller mendukung Alkitab liberal versi RSV (Revised Standard Version) yang menggantikan kata “anak dara/perawan” dengan “perempuan muda” dalam nubuatan mengenai Mesias di dalam Yes. 7: 14. Semua orang yang terlibat dalam penerjemahan RSV adalah kaum liberal. Berikut adalah kutipan pernyataan mereka. Walter Russell Bowie menulis, “Mazmur-mazmur yang tak bercela dan ucapan-ucapan sejenisnya mencerminkan Tuhan yang telah mati dan harus mati dan tidak pernah hidup kecuali dalam khayalan yang mustahil” (Bowie, “Where You Find God”, hal. 25).

William Foxwell Albright menulis, “Injil Yohanes jelas tidak bisa ditempatkan sebagai sumber sejarah setaraf dengan Injil-injil sinoptik”(Albright, “From the Stone Age to Christianity”, Baltimore: John Hopkins Press, 1957).

Millar Burrows menulis, “Kita tidak boleh menggunakan Alkitab secara utuh dan setiap pernyataannya sebagai otoritas illahi untuk apa yang kita yakini dan kita lakukan” (Burrows, “Outline of Biblical Theology”).

Henry Cadbury menulis, “Yesus Kristus cenderung menjadi pernyataan yang dilebih-lebihkan, dalam hal ini, Ia bukan seorang pribadi yang istimewa, melainkan sebuah karakteristik orang timur” (Cadbury, “Jesus, What Manner of Man?”).

Clarence Craig menulis, “Sekedar fakta bahwa sebuah kuburan ditemukan dalam keadaan kosong bisa diberikan berbagai penjelasan. Penjelasan paling akhir yang bisa diyakini orang modern adalah penjelasan mengenai kebangkitan tubuh secara fisik...Paulus bukan sedang bicara mengenai suatu kejadian yang bisa direkam oleh para saksi mata, melainkan mengenai suatu kejadian di dalam persepsi dunia rohani... Ia bukan untuk dipamerkan dengan merujuk kepada kubur yang kosong itu. Ia merupakan sebuah pengumuman yang harus merujuk kepada iman religius” (Craig, “The Beginning of Christianity”, hal. 135-136).

Edgar Goodspeed menulis, “Yesus...secara keseluruhan sama sekali jauh dari gambaran Perjanjian Lama sebagai seorang Yahudi yang sesungguhnya pada zamanNya” (Goodspeed, “The Formation of the New Testament”, 1926, hal. 7).

Goodspeed mengklaim bahwa Kitab Kejadian berisikan “dongeng dan legenda Babilonia serta cerita populer Kanaan” (Goodspeed, “The Story of the Old Testament”, 1934, hal. 107). Di dalam buku karya David Cloud, “For Love of the Bible”, ia memaparkan kutipan-kutipan dari berbagai penerjemah RSV lainnya yang menyesatkan dan menghujat, misalnya James Moffatt dan Willard Sperry.

Dukungan Fuller terhadap RSV merupakan bukti yang tak bisa disangkal bahwa sekolah tersebut telah berada di pihak yang salah dalam peperangan kebenaran yang telah berusia tua ini.

Mengubah Pernyataan Doktrin

Pada tahun 1976, Harold Lindsell, yang melayani sebagai dosen dan wakil pimpinan Fuller, mengangkat suara menentang kesesatan Fuller. Dalam bukunya, “The Battle for the Bible”, Lindsell menyediakan satu bab penuh untuk membahas “Kasus Aneh di Sekolah Theologi Fuller” (“The Strange Case of Fuller Theological Seminary”). Dalam bukunya memang Lindsell tidak menyebutkan secara tajam akar kesalahan Fuller, yakni penolakan atas separasi alkitabiah, dia juga tidak menyerukan agar kaum injili itu untuk memisahkan diri (separasi) dari kesesatan Fuller, namun ia memang mencatat hasil akhir dari kesalahan Fuller. Ia menyatakan: “Pada atau sekitar tahun 1962, sangat nyata bahwa ada beberapa yang sudah tidak lagi meyakini inerrancy Alkitab, di antaranya adalah para staf pengajar dan dewan” (Lindsell, “Battle for the Bible”, hal 108).

Lindsell menyebutkan banyak nama dari anggota staff pengajar dan dewan tersebut, yakni: C. Davis Weyerhaeuswer, Daniel P. Fuller (putera pendiri Fuller), Calvin Schoonhoven, David Hubbard (yang menjadi pimpinan sekolah tersebut), James Daane, dan George Ladd. Pada awal 1970an, Fuller mengubah pernyataan doktrinalnya agar lebih tepat mencerminkan posisi yang diyakini oleh para staf pengajar.

Pernyataan orisinilnya mengenai Alkitab adalah “diinspirasikan penuh dan bebas dari segala kesalahan, baik secara keseluruhan maupun dalam bagian-bagiannya... (dan merupakan) satu-satunya standar iman dan praktek yang sempurna”.

Pernyataan yang baru menghapuskan kata-kata “bebas dari segala kesalahan, baik secara keseluruhan maupun dalam bagian-bagiannya”. Hal ini memberi ruang bagi para bidat yang percaya bahwa Alkitab ada kesalahan dalam hal-hal mengenai “sains” (ilmu pengetahuan) dan sejarah. Para injili liberal banyak yang berusaha membuat perbedaan antara pengertian “Alkitab adalah sempurna” dan “Alkitab tidak ada salah”, dengan mengatakan bahwa Alkitab memang sempurna, namun bukan tidak ada kesalahannya. Ini merupakan omong-kosong akademis. Jika Alkitab itu sempurna, maka ia tidak ada kesalahannya, dan itulah yang diajarkan oleh Tuhan Yesus dan para Rasul. Yesus mengatakan “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” (Yoh. 10: 35).

Perubahan itu disahkan ketika Daniel Fuller kembali dari Eropa, dimana ia berguru pada theolog neo-orthodoks, Karl Barth. Ia menerima pandangan neoorthodoks, bahwa Alkitab hanya diinspirasikan dalam hal-hal mengenai kerohanian, tetapi tidak mengenai ilmu pengetahuan dan sejarah. Ketika Daniel Fuller terpilih sebagai pimpinan Fuller pada 1963, kecenderungan menjadi liberalisme theologis semakin meningkat. Sejak saat itu, Fuller dari buruk menjadi lebih parah. Sampai saat ini sangat diragukan apakah sekolah ini masih terdapat dosen yang meyakini Alkitab adalah inerrant, diinspirasikan secara verbal tanpa salah, baik secara keseluruhan maupun dalam bagian-bagiannya. Fuller terlalu mengagungkan keilmuan dan sangat dimabukkan oleh modernisme.

Paul King Jewett

Paul K. Jewett adalah dosen Theologi Sistematik di Fuller. Pada tahun 1975 ia menerbitkan buku “Man as Male and Female .” Kata Pengantarnya ditulis oleh Virginia Mollenkott, ketua Departemen Bahasa Inggris di William Paterson College, New Jersey. Mollenkott adalah seorang lesbian yang aktif di kalangan feminis proaborsi yang paling radikal. Tahun 1978, bersama dengan Letha Scanzoni, ia menulis buku berjudul “Is the Homosexual My N eighbor ? ” dimana ia menyerukan nondiskriminasi terhadap homoseks. Bukunya membela bahwa catatan mengenai Sodom di dalam Kejadian bukan mengajarkan kejahatan homoseksual, melainkan kejahatan kekerasan pemerkosaan dan ketidakramahan gang terhadap orang asing.

Buku itu juga mengklaim bahwa “pemikiran mengenai orientasi homoseks seumur hidup atau ‘keadaan’ tidak pernah disebutkan dalam Alkitab” (hal. 71), dan bahwa Roma 1 tidak bisa diterapkan kepada orang Kristen homoseks yang tulus” (hal. 62).

Pada bulan Juni 1991, terbitan bulanan Episkopal yang berjudul “The Witness”, Molletkott bersaksi, “Lesbianisme saya senantiasa adalah bagian dari hidup saya... Saya berusaha menjadi heteroseks. Menikahlah saya. Namun akhirnya saya menyadari bahwa Tuhan menciptakan saya apa adanya, dan itulah makna hidup itu.” Dalam bukunya pada tahun 1994, “The Divine Feminine: The Biblical Imagery of God as Female,” Mollenkott menyebut Allah dengan “Bunda Esa kita semua” (hal. 19) dan mengajukan bahwa berdoa boleh ditujukan kepada “Bapa/Bunda yang ada di Surga” (hal. 116).

Di dalam buku “Man as Male and Female”, Paul Jewett mengakui bahwa ia terpengaruh oleh kritikisme biblikal modern dan mengklaim bahwa Alkitab mengandung kesalahan karena ditulis oleh manusia: “Penelitian historis dan kritis terhadap dokumentasi biblikal telah mendorong gereja untuk meninggalkan kesederhanaan pandangan keillahian Kitab Suci [doktrin tradisional bahwa Alkitab adalah Firman Tuhan yang tanpa salah] dan memperhitungkan kompleksitas pada tingkat proses historis manusia, dimana dokumentasi itu dihasilkan. Malahan pernyataan sederhana itu, yang secara esensial benar, bahwa Alkitab adalah sebuah kitab illahi, kami kini merasa lebih jelas daripada di masa lalu, bahwa Alkitab adalah sebuah kitab yang illahi/manusiawi. Sebagai kitab illahi, ia memancarkan terang pewahyuan; sebagai kitabmanusiawi, terang pewahyuan ini menerangi dan menembus ‘cermin yang gelap’ (1 Kor. 13: 12) dari ‘bejana tanah liat’ (2 Kor. 4: 7), yang merupakan para penulis isinya pada tingkat manusia” (Jewett, “Man as Male and Female ”, hal. 135).

Jewett keliru. Tuhan Yesus lebih tahu tentang Kitab Suci daripada para pengkritik teks modern, dan Ia tidak pernah mengisyaratkan bahwa ada kesalahan di dalamnya. Dengan jelas ia menyatakan, bahwa “Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” (Yoh. 10: 35) dan “satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan” (Mat. 5: 18). Ketika rasul Paulus menyatakan bahwa “Segala tulisan yang diilhamkan Allah” (2 Tim. 3: 16), jelas ia mengetahui bahwa ada unsur manusia di dalam Kitab Suci, namun ia mengetahui bahwa Allah mengendalikan para penulis Kitab Suci sedemikian rupa, sehingga hasilnya merupakan Firman Allah yang tiada salah. Doktrin Alkitab apapun yang tidak sesuai dengan ajaran Kristus dan para rasul adalah bidat.

Sebenarnya masih banyak staf pengajar Fuller yang bisa diajukan kesalahan doktrinnya, misalnya Charles Scalise, yang merupakan associate professor Sejarah Gereja dan Direktur Akademik Fuller untuk Program M. Div. di Seatlle. Keterbatasan ruang ini membuat kita tidak bisa berpanjang lebar.

Fakta-fakta Lainnya

Untuk menyebutkan beberapa fakta lain, penulis memilihkan beberapa contoh menyangkut angin pluralisme dan ekumenisme yang sudah melenakan Fuller sebagai berikut:

Pada Januari 1997, Fuller menyelenggarakan sebuah seminar dua-hari yang mengupas theologi pluralisme. Seminar itu menampilkan Donald Theimann, dekan Harvard Divinity School yang radikal liberal, dan Rabi A. James Rudin, yang sama-sama setuju bahwa “tidak satu pun agama yang memiliki monopoli atas kebenaran Allah” (Foundation Magazine, Jan-Feb, 1997).

Berikut adalah laporan langsung dari seorang gembala yang mengunjungi Fuller pada tahun 1999: “Saya dan isteri saya mengunjungi Fuller Theological Seminary tanggal 27 Juli 1999. Kami mengikuti sebuah kelas yang diajar oleh Dr. John Goldingay dari Sekolah Theologi itu. Dr. Goldingay memiliki reputasi yang sangat hebat dalam kuliah itu dan merupakan salah satu dosen yang paling populer di kampus tersebut. Ia mengajarkan bahwa tidak ditemukan bukti arkeologis adanya kota Yerikho atau temboknya yang runtuh.

Dengan merujuk kepada catatan Alkitab ia mengatakan ‘Mungkin ini merupakan sebuah perumpamaan.’ Ini membuktikan bahwa ketidakpercayaan dan penyangkalan terhadap Kitab Suci kini hidup dan tumbuh subur di kampus Fuller. Kitab Ibrani 11: 30 mengatakan, “Karena iman maka runtuhlah tembok-tembok Yerikho, setelah kota itu dikelilingi tujuh hari lamanya.” Alkitab tidak pernah salah, sebaliknya Dr. John Goldingay yang salah” (Dr. Arthur B. Houk, Hayden, Colorado, houk@springsips.com).

Pada Januari 2001, sebuah yayasan ekumenis bernama The Foundation for a Conference on Faith and Order di Amerika Utara didirikan di Princenton Theological Seminary. Para anggota dewan eksekutifnya termasuk Uskup Agung Katolik William Keeler, Uskup Agung Orthodoks Yunani Dimitrios, dan Pimpinan Fuller Richard Mouw. Yayasan itu sepakat untuk melonggarkan batas-batas mereka dan memasukkan “mitra-mitra baru dalam usaha ekumenis itu.”

Pada tahun 2001, Gereja Presbyterian USA (PCUSA) yang liberal memilih mantan dosen Fuller, Jack Rogers, sebagai moderator. Dalam pertemuan yang sama, PCUSA mencabut larangan untuk menahbiskan hamba Tuhan homoseksual. Harold Ockenga mengatakan bahwa Injili Baru sepakat untuk memasuki denominasi-denominasi liberal, bukan melakukan separasi dari mereka. Kita bisa melihat buah yang dihasilkannya! Rogers menolak historisitas Kejadian 1-3.

Peringatan Bagi Fundamentalis

Ketergelinciran Fuller yang cepat ke dalam kesesatan merupakan peringatan keras bagi fundamentalis masa kini. Ketika Fuller didirikan pada tahun 1940-an, mereka merupakan sebuah institusi fundamentalis. Pendirinya, Charles E. Fuller dari “Old Fashioned Revival Hour” adalah seorang Fundamentalis, dan ia ingin mendirikan sebuah sekolah yang mempertahankan iman Perjanjian Baru. Harold Lindsell, yang merupakan salah satu dari empat anggota staf pengajar yang pertama dari sekolah itu berkata, “Sejak awal dideklarasikan bahwa salah satu tujuan pokok pendirian seminari tersebut adalah bahwa seminari itu harus merupakan sebuah institusi apologetik... Disepakati sejak kelahiran sekolah itu, bahwa melalui kurikulum seminari itu, staf pengajar akan memberikan pertahanan theologis yang terbaik bagi infalibilitas dan inerrancy Alkitab.”

Seperti yang telah kita saksikan, tujuan ini segera ditinggalkan. Dengan mengabaikan separasi biblikal dan lebih fokus kepada keilmuan daripada iman yang sederhana kepada Firman Tuhan, sekolah menjadi tempat kerohanian yang campuraduk, kompromistis dalam doktrinal dan penyesatan, bukanlah sebuah benteng kebenaran alkitabiah.

Itulah yang akan terjadi terhadap setiap gereja dan sekolah fundamentalis masa kini yang menolak untuk menerapkan separasi. “Tidak tahukah kamu, bahwa sedikit ragi mengkhamiri seluruh adonan?” (1 Kor. 5; 6 & Gal. 5: 9)

“Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik” (1 Kor. 15: 33)

Sumber: David Cloud, Way of Life Literature’s Fundamental Baptist Information Service, fbis@wayoflife.org

Sumber: PEDANG ROH Edisi 41 Tahun X Oktober-November-Desember 2004

Tidak ada komentar: