Walaupun sebagian pejabat-pejabat pemerintah dan tokoh-tokoh media mencoba untuk menyalahkan hal-hal lain, jelas bahwa pembunuhan massal yang dilakukan oleh Nidal Malik Hasan terhadap 13 orang, dan melukai 31 lainnya, di Markas Militer Fort Hood, Texas, adalah sebuah tindakan terorisme Islam. Hasan berteriak "Allahu Akbar" ("Allah Maha besar") sebelum meulai menembak, dan salah seorang tetangganya berkata bahwa Hasan memberikan kepadanya sebuah Quran jam 9 pagi hari itu sebelum ia berangkat ke markas dan ia berkata, "Saya akan melakukan pekerjaan baik bagi Allah" ("For Hood Gunman Had Told US Military Colleages That Infidels Should Have Throats Cut," Telegraph, London, 8 Nov. 2009).
Hasan memberitahu beberapa orang temannya bahwa "orang-orang tidak percaya" (kafir) seharusnya dipotong lehernya dan bahwa mereka seharusnya dibakar. Sebelumnya, masih di musim panas yang baru lalu ini, ia menyoraki penembakan mati seorang perekrut Little Rock Army oleh seorang Muslim ("The Military's Blunders," New York Post, 7 Nov. 2009). Dalam sebuah ceramah di Walter Reed Army Medical Center (dia bekerja di situ sebelum dipindahkan ke Fort Hood pada bulan Juli tahun ini), Hasan mengeluarkan unek-uneknya bahwa "orang-orang yang tidak percaya harus dipenggal kepala dan dituangkan minyak mendidih ke kerongkongan mereka." Ketika ditugaskan di Walter Reed, Hasan menghadiri mesjid Dar al-Hijrah berbarengan dengan dua orang yang termasuk teroris peristiwa 11 September ("Fort Hood Shooting: Texas Army Killer Linked to September 11 Terrorists," The Telegraph, 7 Nov. 2009). Imam yang menjabat saat itu adalah Anwar al-Awlaki, yang sekarang tinggal di Yemen. Charles Allen, mantan pembantu-sekertaris bagian intelijen di Departemen Homeland Security, menggambarkan dia sebuah "seorang pendukung al-Qaeda yang menargetkan orang-orang Muslim USA dengan ceramah-ceramah online yang bersifat radikal mendukung serangan-serangan teroris." Val Finell, seorang dokter angkatan darat yang belajar bersama dengan Hasan, mengatakan bahwa dia dan teman-teman lain mempertanyakan kesetiaan Hasan terhadap Konstitusi USA dan komitmennya terhadap pertahanan Amerika ("Officials: U.S. Aware of Hasan Efforts to Contact al Qaeda," ABC News, 9 Nov. 2009). Dr. Finnel mengatakan bahwa kebanyakan perwira tidak mengajukan komplian karena "takut seolah-olah diskriminasi terhadap seorang tentara Muslim" ("Fort Hood Gunman Had Told US Military Colleagues," The Telegraph, 8 Nov.) Hal ini mengekspos kebodohan "sikap harus benar secara politis" yang telah melanda militer USA, yang kini lebih semangat untuk menyenangkan para feminis, aktivis lingkungan, orang-orang Muslim, dan para pengacara, daripada melakukan tugasnya untuk melindungi Amerika dari semua musuh. Namun demikian, akar permasalahannya bukanlah kelemahan pihak militer; akar permasalahannya adalah kesesatan dan sikap penakut dari para pengkhotbah bangsa tersebut (USA), yang menolak untuk memproklamirkan takut akan Allah dengan berani dan tanpa kompromi. Sebagai hasilnya, bangsa ini telah kehilangan hikmat dan kuasanya. Jadi, solusinya, dari pihak orang-orang percaya, adalah utuk tidak berfokus pada politik atau menenggelamkan diri ke dalam talkshow-talkshow konservatif di radio; solusinya adalah berfokus pada kesalehan, dalam kehidupan pribadi kita dan dalam gereja-gereja kita. "Dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka" (2 Taw. 7:14).
PARA EKUMENIS MERAYAKAN ULANG TAHUN "PERSETUJUAN TENTANG PEMBENARAN"
Tanggal 31 Oktober yang lalu, berbagai gereja-gereja liberal yang ekumenis merayakan ulang tahun kesepuluh penandatanganan "Joint Declaration on the Doctrine of Justification" (Deklarasi Bersama tentang Doktrin Pembenaran). Wakil dari Gereja Roma Katolik dan Federasi Dunia Lutheran menandatangani dokumen tersebut tanggal 31 Oktober 1999, dan Konsili Methodis Sedunia menandatanganinya pada tahun 2006. Banyak orang-orang Injili yang "tertipu" telah memuji deklarasi tersebut, dan mengklaim bahwa Roma kini setuju dengan para "Protestan" mengenai doktrin ini, tetapi pada kenyataannya Roma sama sekali tidak mengalah dalam hal apapun dalam deklarasi yang di rancang dengan sangat pintar tersebut. Dokumen ini mempertahankan Injil sakramental Roma yang sesat dalam segala seginya, yaitu bahwa pembenaran adalah IMPARTASI (pemberian) hidup yang baru kepada orang berdosa sehingga dia dimampukan untuk mengenal dan mencari Allah, dan ini adalah sebuah PROSES yang mulai dari baptisan dan memerlukan pekerjaan baik dan partisipasi dalam sakramen-sakramen gereja. Poin nomor 11 dalam Deklarasi Bersama itu berbunyi, "Pembenaran. ...terjadi saat penerimaan Roh Kudus dalam baptisan..." Konsili Trent mengutuki semua orang yang berani mengatakan bahwa pembenaran adalah hanya melalui iman dan hanya karena kasih karunia oleh penebusan Kristus yang sempurna, dan deklarasi ekumenis ini sama sekali tidak menarik kembali kutukan itu satu iotapun. Perhatikan pernyataan berikut ini dari sesi keenam konsili Trent: "Jika ada orang yang mengatakan bahwa iman yang membenarkan tidak lain adalah keyakinan akan belas kasihan ilahi, yang mengampuni dosa demi Kristus, atau bahwa keyakinan ini sajalah yang membenarkan kita, BIARLAH DIA ANATHEMA" (Canons Concerning Justification, Canon 12). Jika Gereja Roma Katolik tiba-tiba setuju dengan orang-orang non-Katolik yang percaya Alkitab bahwa keselamatan hanyalah karena kasih karunia melalui iman dalam pengorbanan Kristus yang sempurna dan mencukupi TANPA PEKERJAAN ATAU SAKRAMEN ATAU BAPTISAN ATAU KEIMAMATAN, maka ia akan mengutuki sendiri para pausnya yang terdahulu. Untuk informasi lebih banyak lagi mengenai hal ini silakan lihat artike-artikel berikut dalam di www.wayoflife. org: "Liberal Lutherans and Roman Catholics Agree to Deny the Gospel" dan "How the Roman Catholic Church Denies Salvation by Grace Alone."
PEKAN RAYA PERCERAIAN DI PARIS MENARIK RIBUAN ORANG
Paris menjadi tempat paling pertama di Perancis yang mengadakan pekan raya perceraian tanggal 7-8 yang lalu, dan kira-kira 4000 orang ikut serta. Di Perancis, hampir satu dari setiap dua pernikahan berakhir dengan perceraian, dan pekan raya "New Start" diadakan untuk memberikan pelayanan bagi pangsa pasar yang besar ini. Orang-orang yang hadir dapat berkonsultasi dengan pengacara dan peramal kartu tarot, mengunjungi spesialis-spesialis remodeling, membukukan janji dengan ahli-ahli bedah plastik, dan meningkatkan rasa percaya diri mereka dengan para pelatih rasa percaya diri. Seminar-seminar tersedia yang bertajuk mulai dari "Bagaimana cara merayu kembali partner anda dengan metode Gestalt," hingga "Bertemu di Web." Brigitte Gaumet, organizer dari pekan raya tersebut mengatakan bahwa dia mendapat ide ini setelah Presiden Perancis Nicolas Sarkozy menceraikan istri kedua segera setelah mendapatkan jabatan. "Bagi saya," dia berkata, "hal itu memperjelas bahwa perceraian sudah kehilangan stigma dan bahwa hal itu adalah hal yang lazim" ("Paris New Fair Targets Divorce Market," AP, 9 Nov. 2009). Perceraian selalu adalah sebuah tragedi, dan walaupun ia adalah realita dalam dunia yang terkutuk oleh dosa ini, dan kadang-kadang tidak dapat terhindarkan, perceraian seharusnya tidak boleh pernah didukung atau dirayakan. Hancurnya pernikahan di seluruh dunia adalah tanda dari akhir zaman: "Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya: "Marilah kita memutuskan belenggu-belenggu mereka dan membuang tali-tali mereka dari pada kita!" (Maz. 2:1-3).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar